BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anda tentu memahami tentang ilmu tafsir dimana ilmu ini menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan dalil aqli dan naqli. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan masalah hukum, sosial, ekonomi bahkan sampai kepada pendidikan sehingga selayaknya manusia harus berpedoman pada al-qur’an dan hadist karena hadist juga menjadi dukungan al-qur’an.
Dalam hal ini kami akan mencoba membahas (menafsirkan) ayat yang berkenaan dengan pendidikan yaitu Qur’an surah Al-Imran ayat 79-80. menurut tafsir al-Misbah bahwa inti dari ayat tersebut adalah hubungan antara pendidik dan peserta didik, sarana (pedoman), serta sikap seorang yang dididik dan pendidik.
Dalam bab selanjutnya akan selanjutnya akan dibahas sercara lebih terperinci. Sehingga menambah pengetahuan, semoga makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, kita dapat mengambil rumusan masalah, yaitu :
- Apa isi dari surah al-Imran ayat 79-80 ?
- Apa kaitan antara surah al-Imran ayat 79-80 dengan dunia pendidikan ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, kita dapat mengambil tujuan , yaitu:
- Mengtahui isi dari surah al-Imran ayat 79-80
- Mengetahui kaitan antara surah al-Imran ayat 79-80 dengan dunia pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Qur’an Surah Al-Imran Ayat 79-80
Artinya
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah beerikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembah Allah’. Akan tetapi (ia berkata) : ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kaum mempelajarinya”
“Dan (tidak wajar baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) ia menyuruhmu berbuat kekafiran diwaktu kamu sudah (menganut agama Islam) ?”
B. Penafsiran Al-Imran Ayat 79-80
Qur’an surah al-Imran yat 79-80 dijelasakan dalam tafir al-Misbah karangan Prof.Dr.Quraishihab yaitu , sekelompok pemuka Kristen dan Yahudi menemui Rasulullah SAW. mereka bertanya : ‘Hai Muhammad apakah engaku ingin agar kami menyembahmu ?’ salah seorang diantara mereka bernama ar-Rais mempertegas, ’apakah untuk itu engkau mengajak kami ?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah dari penyembahan selain Allah atau menyuruh yang demikian. Allah sama sekali tidak menyuruh saya demikian tidak pula mengutus saya untuk itu’. Demikian jawab Rasul SAW yang memperkuat turunnya ayat ini.
Dari segi hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya dapat dikemukakan bahwa setelah penjelasan tentang kebenaran yang sembunyikan oleh bani israil dan hal-hal yang berkaitan dengannya selesai diuraikan dalam ayat-ayat lalu dan berakhir pada penegasan bahwa mereka tidak segan-segan berbohong kepada Allah, dan ini juga berarti berbohong atas nama Nabi dan Rasul karena tidak ada informasi pasti dari Allah kecuali dari mereka. Maka disini diteg askan bahwa bagi seorang nabi pun hal tersebut tidak wajar. Bahwa yang dinafikan oleh ayat ini adalah penyembahan kepada selain Allah sangat pada tempatnya. Oleh karena apapun yang disampaikan oleh Nabi atas nama Allah adalah ibadah. Tidak wajar dan tidak tergambar dalam benak, betapapun keadaannya bagi seorang manusia, siapapun dia dan betapapun tinggi kedudukannya, baik Muhammad SAW maupun Isa dan selain mereka, yang Allah berikan kepadanya al-Kitab dan hikmah yang digunakannya untuk menetapkan keputusan hukum.
Hikmah adalah ilmu amaliyah dan amal ilmiah, dan kenabian yakni informasi yang diyakini bersumber dari Allah yang disampaikan kepada orang-orang tertentu pilihanNya yang mengandung ajakan untuk menegaskanNya. Tidak wajar bagi seseorang yang memperoleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong kepada manusia ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah’. Betapa itu tidak wajar, bukankah kitab suci Yahudi atau Nasrani apalagi al-Qur’an, melarang mempersekutukan Allah dan mengajak menegaskanNya dalam zat, sifat, perbuatan, dan ibadah kepadaNya?.
Bukankah Nabi dan Rasul adalah yang paling mengetahui tentang Allah?. Bukannkah penyembahan kepada manusia berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan, mereka adalah orang yang memiliki hikmah, sehingga tidak mungkin meletakkan manusia atau makhluk apapun ditempat dan kedudukan sang Khaliq ?. Jika demikian, tidak mungkin Isa as. manusia ciptaan Allah dan pilihanNya itu, menyuruh orang lain menyembah dirinya sebagaimana diduga oleh orang-orang Nasrani.
Selanjutnya, mereka tidak akan diamdalam mengajakkepada kebaikan atau mencegah keburukan. Tidak ! tetapi dia tidak akan mengajak dan terus mengajak, antara lain akan berkata, ‘ Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabban, yang berpegang teguh serta mengamalkan nilai-nilai Ilahi, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu terus menerus mempelajarinya’.
Kata tsumma yakni kemudian yang diletakkan diantara uraian tentang anugerah-anugerahNya dan pernyataan bahwa mereka menyuruh orang menyembah manusia, bukan berarti adanya jarak waktu tetapi untuk mengisyaratkan betapa jauh ucapan demikian dari sifat-sifat mereka dan betapa ucapan tersebut tidak masuk akal. Kalau Nabi dan Rasul demikian halnya, maka tentu lebih tidak wajar lagi manusia biasa mengucapkan kata-kata demikian.
Kata rabbani terambil dari kata rabb yang memiliki aneka makna antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata trsebut berdiri sendiri, maka tidak lain yang dimaksud Allah SWT.
Para pemuka Yahudi dan Nasrani yang dianugerahi al-Kitab, hikmah, dan kenabian menganjurkan semua orang menjadi rabbani dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah SWT. Yang Maha Pemelihlihara dan Pendidik itu.
Kata tadarrusun digunakan dalam arti meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam konteks teks baik suci Maupun selainnya ia adalah membahas, mendiskusikan teks untuk menarik kesimpulan (informasi) dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Kenyataan bahwa seorang rabbani harus terus menerus mengajar adalah karena manusia tidak luput dari kekurangan. Disisi lain, rabbani bertugas terus menerus membahas membahas dan mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah sedemikian luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali, semakin banyak yang dapat diraih walupun yang dibaca adalah teks yang sama. Kitab Allah tidak ubahnya dengan kitabNya yang terhampar, yaitu alam raya. Walaupun alam raya sejak diciptakan hingga kini tidak berubah, namun rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan sebelumnya.
objeknya alam raya maupun kitab suci. Nah, yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu hendaknya diajarkan pula, sehingga yang mengajar dan yang meneliti bertemu pada satu lingkaranyang tidak terputus kecuali dengan terputusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. Bukankah pesan agama ‘belajarlah dari buaian hingga liang lahat’. Dan bukankah al-Qur’an menegaskan kerugian orang-orang yang tidak salin wasiat mewasiati tentang kebenaran dan ketabahan yakni saling ajar mengajari, tentang ilmu dan petunjuk serta ingat mengingatkan tentang perlunya ketabahan dalam hidup ini.
Pada ayat 80 surah al-Imran tersebut dijelaskan setelah menafikan bahwa para pilihan itu tidak mungkin dan tidak wajar menganjurkan agar manusia menyembah mereka, disini ditegaskan pula bahwa mereka juga tidak akan pernah menyuruh makhluk-makhluk Allah menyembah selain mereka, walupun makhluk itu makhluk pilihan.
Dan tidak (wajar pula baginya) menyuruh kamu, wahai seluruh manusia untuk menjadikan malaikat-malaikat dan para Nabi, apalagi selian mereka sebagai tuhan-tuhan untuk mempersekutukan mereka dengan Allah, atau menjadikan mereka tuhan secara berdiri sendiri. Bahkan semua sikap yang mengandung makna persekutuan atas pengingkaran kepada Allah, walau sedikit tidak mungkin mereka lakukan. Apakah (patut) dia menyuruh berbuat kekafiran disaat kamu telah menjadi orang yang berserah diri kepadaNya? yakni patuh kepadaNya secara potensial dengan diciptakannya setiap manusia memiliki fitreh kesucian serta ketaatan dan ketunduka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penyebutan para malaikat dan Nabi-Nabi pada ayat ini hanya sekedar sebagai contoh, sementara yang dimaksud adalah selain Allah, seperti misalnya bulan, matahari atau leluhur. Kalupun hanya malaikat dan Nabi-Nabi yang disebut oleh ayat ini, karena hanya itulah yang disembah oleh masyarakat jahiliyah dan orang Yahudi dan Nasrani.
Pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa patron kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ mengandung makna keterpaksaan dan rasa berat (hati, tenaga dan pikiran) untuk melakukannya. Jika demikian, penyembahan kepada selain Allah SWT. yang digambarkan dalam ayat ini dengan kata tattakhizu yang diatas diartikan diterjemahan dengan menjadikan. Mengandung makna bahwa penyembahan itu bila te jadi pada hakikatnya dipaksakan atas jiwa manusia, bukan merupakan sesuatu yang lahir dari fitrah atau naluri normalnya. Demikian ditulis al-Baqi dalam tafsir.
Ada juga yang memahami kata muslim pada ayat ini sebagai kaum muslim umat Nabi Muhammad SAW. Asy-Sya’rawi menulis bahwa ayat ini seakan-akan berkaitan dengan kaum muslim yang bermaksud menghormati Rasul melebihi yang sewajarnya, mereka bermaksud sujud kepada beliau, maka Nabi melarang mereka dan menegaskan bahwa sujud hanya diperkenankan kepada Allah SWT. Tampaknya, pendapat pertama lebih cepat, apalagi bila disadari bahwa ayat ini turun di Madinah setelah sekian lama Rasul SAW. menanamkan aqidah Tauhid dikalangan masyarakat, sehingga larangan sujud kepada selain Allah sudah sangat popular, walau dikalangan non muslim. Dengan demikian, mustahil rasanya ada seorang muslim yang bermaksud sujud kepada Nabi SAW.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari pembahasan Surah al-Imran ayat 79-80 dapat kita ambil kesimpulan antara isi surah al-Imran ayat 79-80 tersebut dengan dunia pendidikan, yaitu:
1. Untuk mendapatkan ilmu (seseorang yang ingin mendapatkan ilmu) tidak dalam waktu yang singkat (sebentar) tetapi membutuhkan waktu yang lama.
2. Dengan menuntut ilmu (belajar) seseorang bias tahu apa yang belum diketahui karena masih banyak ilmu Allah yang masih belum teungkap (seseorang harus belajar terus menerus). Bukankah Allah memberikan ilmu kepada manusia melainkan hanya sedikit.
3. Seseorang yang menuntut ilmu juga melakukan penelitian guna memperluas (memperdalam) suatu ilmu sehingga hasil penelitian tersebut didiskusikan, dibahas, kemudian hasil penelitian yang sudah didiskusikan dan dibahas tersebut d isampaikan (dipersentasikan).
4. Sekalipun telah menjadi seorang pendidik seorang guru tersebut tidak hanya (tidak berhenti) belajar sampai ia menjadi pendidik tetapi harus belajar terus menerus
5. Seorang pendidik tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidak disukai kepada peserta didik (mengedepankan norma)
6. Peserta didik harus berniat dengan tulus ikhlas sehingga dalam menuntut ilmu tidak merasa ada paksaan
7. Peserta didik harus menghormati orang yang lebih tua darinya lebih-lebih kepada guru
8. Seseorang yang berilmu tidak boleh sombong dengan ilmu yang dimilikinya.
Posted: 02 Dec 2010 05:26 AM PST
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu Al-hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurutgalk beberapa riwayat, Al-asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H / 935 M.
Menurut ibnu Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham ahlulsunah dan ahli hadist.ia wafat ketika al asy’ari masih kecil.sebelum wafat ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama zakaria bin yahya as-saji agar mendidik al-asy’aria.ibu al-asy’ari sepeninggal ayahnya,menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah yang bernama abu ali al-jubai (w.303H ¬/915) Ayah kandung abu hasyim al-jubbai (w.321 H/932 M).
Berkat didikan ayah tirinya itu,AL-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah.ia seiring menggantikan Al-jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu,banyak menulis buku yang membela alirannya .
AL-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun setelah itu,secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah. Bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tzilah dan menunjukun keburukan-keburukannya.( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal.120) dan berpidato ’’wahai manusia ! Barang siapa di antara kamu yang kenal pada saya,saya akan memperkenalkan diri saya bahwa saya ini adalah Abul hasan AL-Asy’ari,yang beberapa waktu meyakini bahwa quran itu mahluk dan baru,dan bahwa allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa perbuatan jahat itu saya sendirilah yang mengerjakan,bukan dengan qada dan qadar,saya sudah tobat dan saya sekarang menentang paham Mu’tazilah.tentang kesalahan pendirinya.
Wahai manusia yang hadir!Ketahuilah baahwa saya ini menghilang beberapa lama dari pergaulan,karena saya betul-betul sedang mempelajari pertentangan dan alasan-alasan dari golongan besar ini.sekarang tuhan telah memberi petunjuk pada saya-saya teguh dalam pendirian saya dan kutulis semua dalam buku ini (sambil ia memperlihatkan kepada umum sebuah risalah yang terdiri dari pendirian-pendirianya).saya sudah membuang paham mu’tazilah itu,sebagaimana saya membuka baju saya ini sekarang dan melemparkan ke tengah-tengahmu”.( Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, 1998, hal.176)
Menurut ibnu Asakir,yang melatarbelakangi AL-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan AL-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw.sebanyak tiga kali,yaitu pada malam ke-10,ke-20,dan ke-30 bulan ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu,Rasulullah memperingatkannya agar meniggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.( Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, ibid.)
Hal lain yang melatarbelakangi AL-asy’ari meniggalkan paham Mu’tazilah adalah karena dia merasa meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah,keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut.dan ia merasa tidak puas.setelah merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah.peristiwa itu terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun,menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. (Muhammad Ahmad, ibid.)
Posted: 02 Dec 2010 05:11 AM PST
Formulasi pemikiran Al-asy’ariyah, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazillah di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi sunni yang dipelopori Ibn kullab).
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini.
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat di hindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandanga ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya.
Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiyah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
b. Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazillah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazillah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.
d. Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Quran. Mu’tazillah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, (yang qodim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa allah bersemayam di Arsy. Selain itu, itu ia tidak sependapat dengan Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digaambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr. ( Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ibid. hal. 121-124)
)
Posted: 02 Dec 2010 02:50 AM PST
1. Corak Pemikiran Asy’ariyah
Asy’ari adalah orang yang pernah menganut paham mu’tazilah, tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan argumentasi fikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal fikiran dalam masalah Agama atau membahas tentang yang tidak pernah disinggung Rasul adalah salah. Selain itu juga ia mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihanan menghargai akal fikiran, yaitu golongan mu’tazilah.
Karena golongan ini tidak mengakui 3 sifat Tuhan, maka dikatakan telah sesat sebab mereka telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan meletakkannya dalam bentuk yang tidak dapat diterima akal. Selain itu juga mereka mengingkari kemungkinan terlihatnya Tuhan dengan mata kepala sendiri. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat tidak mengakui hadist-hadist Nabi.
2. Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Aliran asy’ariyah lebih cendrung kepada segi akal fikiran semata-mata dan memberikannya tempat yang lebih luas dari pada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan bahwa “Akal menjadi dasar naqal (Nas)”. Karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan pencipta alam dan yang Maha Kuasa. Pembatalan akal fikiran dengan naqal (Nas) berarti pembatalan dasar (pokok) dengan cabangnya yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali. Karena adanya sikap tersebut, maka Ahlussunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariyah. Bahkan memusuhinya kerna di anggap sudah termasuk aliran sesat (bid’ah).( Ahmad Hanafi, theology islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hal.64)
3. Pokok Pemikiran Asy’ariyah
- Allah SWT memiliki sifat wajib, mustahil, dan jaiz. Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan Dzat-Nya, tetapi tidak terpisah.
- Tentang melihat Allah, Asy’ariyah berpendirian bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala sendiri ketika di akhirat kelak. Ini sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyamah:22-23 yang artinya “wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri melihat wajah Tuhannya.”
- Tentang syafa’at, shirat, mizan, dan haudhi Asy’ariyah berpendirian semuanya itu benar-benar ada di akhirat.
- Mengenai ayat-ayat mutasyabihat, dalan mengartikannya tidak boleh dengan arti lahir ayat saja, tetapi harus melalui takwil dan yang boleh menakwil hanyalah para alim ulama’ yang ahli dan ilmunya sudah lebih dalam dari orang biasa pada bidang Al-quran. Ini didasarkan pada (Q.S.Ali Imran:6)( Muhammad Rifa’i dan RS. Abdul Aziz, belajar ilmu kalam, (Semarang: wacaksana, 1998), hal.71)
Mazhab Asy’ariyah bertumpu pada Al-Qur’an dan sunnah mereka amat teguh memegangi Al-Ma’sur. Al- Asy’ari mengatakan: “pendapat yang kami ketengahkan dan aqidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh pada kitab Allah, sunnah Nabi SAW dan apa yang di riwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan imam-imam hadist. “ kami mendukung semua itu dan menjauhi orang-orang yang menyalahi pendapatnya maupun inquisisi bahwa Al-Quran adalah makhluk.( DR. Ibrahim Madkous, aliran dan teori filsafat islam, (Jakarta:bumi Aksara, 1995), hal.66)
Al-quran berlainan pendapat dengan mu’tazillah, bagi asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat:
Artinya: Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.( Surat An-Nahl ayat 40)
Untuk penciptaan itu perlu kata kun dan untuk terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain, begitulah seterusnya sehingga terdapat ratusan kata-kata kun yang tak berkesudahan dan ini tak mungkin. Oleh karena itu, Al-qur’an tak mungkin diciptakan.( Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hal.69)
Kaum Asy’ari juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal, padahal Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional:
Artinya: Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?( Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hal.69)
Asy’ari adalah kaum sifatiyah (yang mengatakan bahwa Allah punya sifat-sifat) jadi Allah mengetahui dengan ilmunya Karena sifat kuasa, semua ini adalah sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi. Ilmu Allah adalah Azali dan mencangkup semua obyek pengetahuan, tanpa melalui indra maupun pembuktian. Melihat Allah dengan pandangan mata adalah boleh, karena setiap yang ada bisa si lihat. Meneguhkan bahwa Allah bisa dilihat tidak berarti tasybih dan tajsim, sebab melihat disini tidak sama dengan kita yang melihat benda-benda di dunia,sebagaimana firman:Nya:
Artinya: (22) Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (23) Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Surat Al-Qiyamah ayat 22-23)
Firman Allah adalah sifatnya Azali dan Al-Quran itu adalah Firman Allah. Oleh sebab itu, Al-Quran bukan makhluk.
Kami baerusaha untuk mengulas teori-teori itu seperti yang ada pada orang yang mengatakannya juga pada murid-muridnya. Untuk itu kami cukup hanya menjelaskan tokoh-tokoh besar mereka.
Posted: 02 Dec 2010 02:42 AM PST
Jikalau Al-Asy’ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran ini adalah tokoh-tokoh besar yang mempunyai andil dalam menyebarluaskan dan memperkuat mazhab ini. Diantara pengikut yang terpenting adalah:
1. Muhammad Iba Al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakar Al- Baqillani (403 H)
Abu Bakar Al-Baqillani adalah pengganti pertama dari Asy’ari, lahirnya beberapa tahun setelah Asy’ari dan wafat di Baghdad tahun 1013 M. Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Dalam beberapa hal dia tidak sepaham dengan Asy’ari.
Apa yang disebut sifat Allah umpamanya bagi Al-baqillani bukanlah sifat tetapi hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari mu’tazillah; sungguh pun ia, pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya. Dia juga sepaham dengan pendapatnya Asy’ari mengenai paham perbuatan manusia. Kalau bagi Asy’ari perbuatan Allah diciptakan oleh Allah SAW. Menurut Baqillani ssendiri, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Yang di maksud Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia; adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan, dan sebagainya. Gerak sebagai Genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri dan sebagainya yang merupakan spectes (new’). Dari gerak adalah perbuatan manusia dan Allah lah yang menciptakan itu, bagi Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mepunyai efek.
2. Imam Al-Haramain (478 H= 1058 M)
‘Abd Al-malilo Al-jawaini yang terkenal dengan nama imam Al-haramain, ia lahir di kurasan tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H. Sama dengan Al-baqillani, Al-jawaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran Asy’ari. Mengenai anthropomurphisme ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan. Mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Dan keadaan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai perbuatan manusia Al-Juwaini berbeda pendapat dengan Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia dalam pendapat Al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musahab. Wujud tergantung pada daya yang ada pada manusia. Dengan demikian Al-juwaini berada jauh dari paham Al-Asy’ari dan lebih dekat dengan paham mu’tazillah tentang causahty.
3. Abu Hamid Al-Gazali (505 H= 1111 M)
Al-gazali adalah tokoh Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jama’ah paham teologi yang dimajukan boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham Asy’ari. Al-gazali mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan. Juga Al-quran dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan dan daya itu terdapat pada diri manusia. Al-Gazali mempunyai paham yang sama dengan Asy’ari tentang beautific vision yaitu Tuhan bisa dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.
Penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum mu’tazillah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahan manusia. Tuhan berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya.
Menurut Al-Gazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaannya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada, sedangkan ilmunya meliputi segala sesuatu. Atas pengaruh Al-Gazali, ajaran Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas dikalangan Islam ahli sunnah dan jama’ah
Menurut Al-Gazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaannya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada, sedangkan ilmunya meliputi segala sesuatu. Atas pengaruh Al-Gazali, ajaran Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas dikalangan Islam ahli sunnah dan jama’ah
4. Al-Syahrastani (548 H= 1153 M)
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari berbagai aliran Islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya, al-milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan) yang sudah di kenal para analisis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalat al-islamiyyin karya Al-Asy’ari itu. Buku ini mereka jadikan rujukan, bahkan sampai hari ini.
Al-syahrastanitidak hanya meemfokuskan diri pada kelompok-kelompok keagamaan, tetapi juga mengkaji par filosof klasik dan modern. Penguasaan filosofinya ternyata amat mendalam dan sempurna. Nampak bahwa Al-syahrastani banyak terpengaruh oleh ibnu Sina, walaupun ia juga mengritik dan menentangkan.
Posted: 02 Dec 2010 08:44 AM PST OLEH ANDE SANJAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar