BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud kini giliran Imam Turmudzi, ia juga merupakan tokoh akhli Hadits dan penghimpun Hadits yang terkenal. Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sawrah bin Musa bin ad-Dahhak Sulami at-Turmudzi. Ia lahir pada tahun 279 H di kota Tirmiz.
Ia belajar dan meriwayatkan Hadits dari Ulama ulama kenamaan. Diantaranya adalah Imam Bukhori, kepadanya ia mempelajari Hadits dan Fiqih. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Turmudzi belajar pula Hadits dari sebagian guru mereka. Guru lainnya adalah: Qutaibah bin Saudi Arabia, Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdur Rohman, Muhammad bin Basysyar, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni, Muhammad bin al-Musannah dan lain lain.[1]
Hadits dan ilmu ilmunya di pelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama diantaranya:
Makhul ibnul Fadl, Muhammad bin Mahmud anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Muhammad bin Mahmud al-Mahbuai dan lain lain
Imam Turmudzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam Hadits, kesholehannya dan ketakwaannya. Para ulama besar telah memuji dan menyanjung. Al Hafiz Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban, kritikus Hadits, menggolongkan Turmudzi ke kelompok Siqot atau orang orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Turmudzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan Hadits, menyusun kitab, menghafal Hadits dan bermudzakaroh (berdiskusi) dengan para ulama".[2]
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Abu Turmudzi?
2. Apa Nama dan kelahirannya?
3. Bagaimana perkembangan dan Lawatannya?
4. Kapan Abu Turmudzi wafat?
5. Bagaimana Keilmuan Abu Turmudzi?
6. Siapakah Guru-guru Abu Turmudzi?
7. Siapakah Murid-muridnya?
8. Bagaimana kekuatan Hafalan Imam Abu Turmudzi?
9. Bagaimana Pandangan Para kritikus Hadist?
10. Bagaimana Fiqih dan Ijtihad Imam Abu Turmudzi?
11. Apa saja Karya-karya Imam Abu Turmudzi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui tentang Riwayat Hidup Imam Abu Turmudzi.
2. Menjelaskan Nama dan Kelahiran Beliau.
3. Untuk Mengetahui Perkembangan dan Lawatan beliau.
4. Untuk mengetahui kapan Beliau Wafat.
5. Untuk Mengetahui tentang Keilmuan Imam Abu Turmudzi.
6. Menjelaskan siapa guru-guru beliau.
7. Menjelaskan siapa Murid-murid Imam Abu Turmudzi.
8. Untuk Mengetahui kekuatan Hafalan Imam Abu Turmudzi.
9. Untuk Mengetahui Pandangan Para kritikus Hadist.
10. Untuk Mengetahui tentang Fiqih dan Ijtihad Imam Abu Turmudzi.
11. Menjelaskan Karya-karya Imam Abu Turmudzi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Tarmidzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.[3]
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Namun beliau lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-jami sahihnya, ia selalu memakai nama Abu Isa. Sebagian ulama sangat membenci sebutan AbuIsa, mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena Isa tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad:
“Sesungguhnya Isa tidak mempunyai ayah”.
Al-Qari menjelaskan lebah detail, bahwa yang dilarang adalah apabila nama Abu Isa sebagai nama asli, bukan kunyah atau julukan. Dalam hal ini, penyebutan Abu Isa adalah untuk membedakan al-Tirmizi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang populer dengan nama al-Tirmizi, yaitu:
1. Abu Isa al-Tirmizi, pengarang kitab Al-jami sahih
2. Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang populer dengan sebutan al-Tirmizi al-Kabir.
3. Al-Hakim al-Tirmizi Abu Abdullah Muhammad `Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, muazin, pengarang kitab dan populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmizi.
3. Al-Hakim al-Tirmizi Abu Abdullah Muhammad `Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafiz, muazin, pengarang kitab dan populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmizi.
Adapun nisbah yang melekat dalam nama al-Tirmizi, yakni al-Sulami , dibangsakan dengan Bani Sulaim, dari kabilah Ailan. Sementara al-Bugi adalah nama tempat di mana al Tirmizi wafat dan dimakamkan. Sedangkan kata al-Tirmizi sendiri dibangsakan kepada kota Tirmiz, sebuah kota di tepi sungai Jihun di Khurasan, tempat al-Tirmizi dilahirkan. Tokoh besar al-Tirmizi lahir pada tahun 209 H dan wafat pada malam Senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H di desa Bug dekat kota Tirmiz dalam keadaan buta. Itulah sebabnya Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Darir, karena al-Tirmizi mengalami kebutaan di masa tuanya.
Mayoritas ulama sepakat, bahwa pada akhir hayatnya al-Tirmizi mengalami kebutaan, akan tetapi apakah kebutaannya sejak ketika lahir, masih menjadi perselisihan. Menurut al-Hafid `Umar bin `Allak (w. 325 H), bahwa al-Tirmizi lahir dalam keadaan normal, tidak mengalami cacat mata. Ia mengalami kebutaan setelah mengadakan berbagai perlawatan dalam mencari hadis Nabi dan setelah menyelesaikan kitab al-Jami’ sahihnya . Pendapat inilah yang dipegangi Jumhur Ulama.[4]
1. Nama dan Kelahirannya
Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur, lahir di kota Tirmiz.
2. Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.[5]
3. Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.[6]
B. Keilmuan
1. Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
2. Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
3. Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."[7]
C. Pandangan Para Kritikus Hadist
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
D. Fiqih dan Ijtihadnya
Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
"Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata: " apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil." Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: "Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil)." Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim."
Menurut Ishak, maka perkataan "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini adalah "Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.[8]
E. Karya-karyanya
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
- Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
- Kitab Al-‘Ilal
- Kitab At-Tarikh
- Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
- Kitab Az-Zuhd
- Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.[9]
1. Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
- "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
- "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
[1] Danuri, Daelan M. Ulumul Hadis II. Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988, hlm 79
[2] Ibid, hlm 88
[3] Abu Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah al-Sittah. Mesir: Silsilah al-Buhus al- Islamiyyah, 1969, hlm 102
[4] Ibid, hlm, 109
[5] Abdullah Ali Humaid, Manahij al-Muhadditsin, Dar Ulum al-Sunnah, Riyadh, 1999, hlm 219
[6] Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihah al-Sittah, Dar al-Fikr, Beirut
[8] Matbaah al-Jannah al-Talif wa al-Tarjamah, 1970, hlm 65
[9] Abu Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah al-Sittah. Mesir: Silsilah al-Buhus al- Islamiyyah, 1969, hlm 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar