BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup ini adalah perjalanan yang melelahkan, tanjakan maupun turunan kerap kali dirasakan oleh setiap pejalan, kita semua adalah pejalan yang dituntut untuk sampai ke tujuan kita walaupun banyak rintangan maupun ujian yang kita hadapi di tengah jalan kehidupan. Oleh sebab itu seorang pejalan hendaklah memiliki panduan dan pedoman dalam menapaki lika-liku fenomena hidup. Al-Quran dan As-Sunnah adalah pedoman dan panduan yang telah lulus uji coba. Dan ini terbukti dengan eksistensi keduanya yang bersifat universal dalam segala lini kehidupan.
Sebelum kita menilik lebih lanjut seputar Al-Quran dan hadits, ada baiknya kalau kita mengetahui lebih dahulu Ilmu Hadist yang Memabahas Tentang Perawinya dan biografi para muhaddits , karena berkat kegigihan merekalah kita sekarang dapat mengetahui hukum dan mempelajari As-Sunnah dengan metodologi yang baik. Dunia Islam boleh tersenyum kembali pada beberapa abad yang lalu, pasalnya pada dekade ini telah lahir enam para muhaddits besar yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi peradaban Islam. Diantaranya adalah imam Ibnu Majah, ulama yang terkenal jujur ini ternyata sangat berperan aktif dalam dakwah Islam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau termasuk dari ulama besar Islam karena kredibilitas dan loyalitasnya pada ilmu pengetahuan Islam yang sangat tinggi. Sehingga beliau termasuk dari pengarang Kutubu As-Sittah yang sangat monumental sampai selarang.[1]
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Keberadaannya dalam ajaran Islam adalah sebagai penjelas terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam al-Qur’an. Peranan hadis menjadi semakin penting manakala di dalam al-Qur’an tidak ditemukan ketetapan hukum, semisal tata cara melaksanakan sholat lima waktu.
Ibn Majjah, sebagai salah satu ulama’ yang menekuni bidang Hadis, merupakan ulama’ yang hidup pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyyah tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198H/813M) sampai akhir pemerintahan al-Muqtadir (295H/908M).
Kontribusinya terhadap perkembangan ilmu Hadis, dibuktikan dengan maqnum opusnya “Kitab Sunan Ibn Majjah”. Dalam perkembangannya, kitab Sunannya ini mendapatkan respon yang beraneka ragam dari kalangan ulama Islam. Tentunya yang dimaksud di sini adalah eksistensi kitab Sunan Ibn Majjah dalam Kutubu al-Sittah.
Beraneka ragam pandangan para ulama terhadap keberadaan kitab Sunan Ibn Majjah dalam Kutubu al-Sittah, pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran apakah kitab Sunan tersebut layak untuk menjadi kitab keenam setelah lima kitab pokok Hadis atau Kutubu al-Hamsah. Pandangan-pandangan tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menentang dan kelompok yang mendukung atau sepakat.[2]
Berangkat dari hal itu, pada dasarnya makalah ini mencoba mendiskripsikan bagaimanakah sebenarnya kitab Sunan Ibn Majjah tersebut, yang meliputi kajian tentang proses pembentukan kitab Sunan Ibn Majjah, sistematika penulisan kitab dan yang terakhir adalah komentar, kritik atau pandangan para ulama terhadap kitab Sunan Ibn Majjah baik yang menyangkut tentang kualitas Hadisnya maupun eksistensinya dalam Kutubu al-Sittah yang di akui atau tidak telah melahirkan polemik dikalangan para ulama.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang terdapat dala makalah ini adalah :
1. Bagaimana Biografi Imam Ibnu Majah?
2. Bagaimana Perjalanan Ibnu Majah dalam Menuntut Ilmu?
3. Siapa saja guru dan Murid Imam Ibnu majah?
4. Bagaimana Sanjungan Para ulama Terhadap Imam Ibnu Majah?
5. Apa Metodologi Imam Ibnu Majah?
6. Bagaimana Klasifikasi Hadist Imam Ibnu Majah?
7. Apa saja Karya Intelektual Imam Ibnu Majah?
8. Apa saja Kitab-kitab Imam Ibnu Majah?
9. Bagaimana Eksistensi Imam Ibnu Majah dalam Kutubussittah?
10. Bagaimana Nilai-nilai Hadist Imam Ibnu Majah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Imam Ibnu Majah.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Perjalanan Ibnu Majah dalam Menuntut Ilmu.
3. Menjelaskan siapa saja guru dan Murid Imam Ibnu majah.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Sanjungan Para ulama Terhadap Imam Ibnu Majah.
5. Menjelaskan Metodologi Imam Ibnu Majah.
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Klasifikasi Hadist Imam Ibnu Majah.
7. Menjelaskan Karya-karya Intelektual Imam Ibnu Majah.
8. Mejelaskan Kitab-kitab Imam Ibnu Majah.
9. Untuk Mengetahui Bagaimana Eksistensi Imam Ibnu Majah dalam Kutubussittah
10. Untuk Mengetahui Bagaimana Nilai-nilai Hadist Imam Ibnu Majah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Ibnu Majah
Di suatu hari tepatnya pada tahun 209/284 Masehi Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî’î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun iman tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid.
Beliau mulai mengecap dan menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa beliau berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah. Dalam bidang sejarah beliau menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” itu tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dirasa kurang monumental.[3]
Suatu hari umat Islam di dunia ditipa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.
Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid.
Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.
1. Perjalanan Menuntut Ilmu Imam Ibnu Majah
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.[4]
Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab “Sunan Ibnu Majah”[5]
2. Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Guru sangat berperan sekali dalam tingkat keintelektualan anak didiknya, maka tak heran kalau guru yang cakap dalam metodologi pengajarannya sering kita temui peserta didiknya juga lebih terarah dan terdidik. Maka eksistensi guru ini suatu barang mahal dalam dunia pendidikan.
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.[6]
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah”, bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men’transfer’ ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Bak kata pepatah lagi “Ala bisa karena biasa”. Oleh sebab itu, sang imam inipun giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.[7]
Diantara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.[8]
3. Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam Ibnu Majah
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila beliau termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya. Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : “Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghapal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz” mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.[9]
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan beliau menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran : “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[10]
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû’.” Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.
4. Metodologi Imam Ibnu Majah
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang dianut oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dho’îf bahkan maudû’ di dalamnya.[11]
Dalam menulis buku Sunan ini, beliau memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain.
Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.[12]
Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada “Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah diulas pada diskusi sebelumnya.
Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya’bah dengan perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut Zahaby, dan 1. 500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.
B. Ilmu Hadist yang Membahas Tentang adanya Periwayatan Hadist Sahih Ibnu Majah
1. Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu Majah”
Seperti yang telah kita singgung di atas bahwa kitab “Sunan Ibnu Majah” adalah kitab yang termasuk kategori Kutubu As-Sittah, sebelum kita menelaah lebih dalam lagi tentang buku ini, ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk mengintervensikan diri kita pada bidang hadits. Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab ‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari tiga puluh dua kitab menurut Al-Zahabî, dan seribu lima ratus bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari empat ribu hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah tiga puluh tujuh kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya tiga puluh delapan kitab. Sedangkan jumlah babnya terdiri dari lima ratus lima belas bab dan empat ribu tiga ratus empat puluh satu hadits. Hal ini disebabkan akibat adanya perbedaan nasakh. Kitab hadits yang terdiri dari empat ribu tiga ratus empat puluh satu hadits ini ternyata tiga ribu dua hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan seribu dua ratus tiga puluh sembilan hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.[13]
2. Klasifikasi Hadist Imam Ibnu Majah
Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih. Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan. Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf. Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho’îf.
Kesalahan dan kesilapan adalah suatu hal yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak berbuat sama sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah Al-Hadîts lilhadîts Al-Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi bahwa kitabnya ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti itu, maka ia telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.
3. Karya Intelektual Ibnu Majjah
Selain mahir dalam bidang Hadis, Ibn Majjah juga menguasai disiplin ilmu lain. Hal ini dibuktikan, bahwa semasa ia hidup ia mempunyai karya-karya yang bukan hanya dalam bidang Hadis. Karya-karya tersebut adalah sebagai berikut :
Ø Dalam bidang tafsir, Ibn Majjah memiliki karya “Tafsir al-Qur’an al-Kariim”. Tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan Ibn Majjah hanya sebatas terjemahan saja. Selain itu, keberadaan kitab tafsir ini tidak sampai ketangan kita, sebab kitab tafsir dari Ibn Majjah masih dalam bentuk manuskrib.
Ø Dalam bidang sejarah, Ibn Majjah memiliki karya al-Tarikh al-Islam yang berisi tentang sejarah sejak masa sahabat sampai dengan masa Ibnu Majjah.
Ø Dalam bidang Hadis, yang sekaligus membuat ia terkenal yaitu Kitab Sunan Ibn Majjah.[14]
4. Beberapa Kitab Syarah Ibn Majjah
Beberapa kitab yang mensyarahkan kitab sunan Ibn Majjah adalah :
a) Al-Muglata’I (w. 726) dalam kitabnya al-I’lam bi Sunanih Alaihi al-Salam.
b) Al-Kamaluddin Ibn Musa al-Darimi (w. 808 H) dalam kitabnya Syarah Sunan Ibn Majjah
c) Ibrahim Ibn Muhammad al-Halabi dalam kitabnya Syarah Sunan Ibn Majjah
d) Jalal al-Diin al-Syuyuti (w. 911 H) dalam kitabnya Syarah al-Zujajah bi Syarh Ib Majjah
e) Muhammad Ibn Abd al-Hadi al-Sindi (w. 1138 H) dalam kitabnya Syarah Sunan Ibn Majjah[15]
5. Eksistensi Kitab Sunan Ibn Majjah Dalam Kutubus Sittah
Kitab Sunan Ibn Majjah dalam posisinya sebagai bagian Kutub al- Sittah (6 kitab pokok Hadis), masih diperselisihkan oleh para ulama’. Dari perselisihan ulama tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang menentang atas keberadaan Sunan Ibn Majjah sebagai bagian dari Kutub al-Sittah dan kelompok yang sepakat bahwa Sunan Ibn Majjah adalah kitab ke enam dalam Kutub al-Sittah.
Kelompok yang tidak sepakat diwakili oleh Abul Hasan Ahmad Bin Razin al-Abdari as-Sarqasti (w. sekitar 535 H). Menurut as-Sarqasti, bahwa kitab ke-enam adalah al-Muwatta’ Imam Malik bukan Sunan Ibn Majjah. Hal ini dikarenakan al-Muwatta’ derajatnya lebih tinggi dari Sunan Ibn Majjah. Pendapat tersebut terdapat dalam kitabnya “al-Tajrid Fil Jam’I Bainas Sihah”. Pendapat as-Sarqasti di atas di ikuti oleh az-Zabidi as-Syafi’I (w. 944 H) dalam kitabnya “Tasyirul Wusul”.
Sedangkan ulama yang sepakat menempatkan sunan Ibn Majjah sebagai Kitab ke-enam, di wakili oleh al-Hafiz Abdul Fadli Muhammad Bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah yang diperdalam dalam risalahnya ”Syurutul A’imatutis Sittah “. Pendapat al-Maqdisi tersebut, di ikuti oleh Hafiz Abdul Gani Bin al-Wahid al-Maqdisi (w.600H) dalam kitabnya “al-Ikmal Fi Asma’ ar-Rijal”. Kelompok ini berpendapat bahwa kitab Sunan Ibn Majjah banyak terdapat Hadis yang masuk dalam kategori Zawa’id.
6. Nilai-nilai Hadist Imam Ibnu Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadits-hadits sahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan hadits-hadits munkar dan maudu' meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini karena kitab sunan ini yang paling banyaknya hadits-hadits da'if di dalamnya.
Oleh karena itu tidak seyogyanya kita menjadikan hadits-hadits yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibnu Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadits-hadits tersebut. Bila ternyata hadits dimaksud itu sahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.[16]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar