Jumat, 12 November 2010

SILLATUR RASUL PADA ILMU HADIST


I.                   PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang Masalah
Ulumul hadis adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis-hadis Nabi SAW. Ulumul hadis sangat diperlukan dalam memahami dan mengenal hadis-hadis Nabi. Pada mulanya ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang hadis Nabi SAW dan para perawinya, seperti ilmu al Haditf al-Syahih, ilmu al-Mursal, ilmu al-Asma’ wa alkuna dan lain-lain.
Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama pada abad ke-3 H dan sampai sekarang ilmu-ilmu hadis tersebut terus disempurnakan agar mudah dipahami dan dipelajari. Fenomena yang sekarang ini terjadi dikalangan umat islam adalah hilangnya ajaran-ajaran megenai ilmu-ilmu hadis yang dahulu telah bukukan oleh para ulama-ulama hadis.
Oleh sebab itu diperlukan pemahaman secara khusus untuk menngenal mempelajari dan mempraktekkan serta mengamalkan ilmu-ilmu hadis dalam keseharian.
Dalam Bab selanjutnya juga akan di jelaskan bagaimana perjuangan Rasulullah SAW dalam menjaga dan menyebarkan Hadis kepada seluruh golongan, juga tentang bagaimana keadaan saat hadis-hadis tersebut sedang di himpun oleh para sahabat.

1.2  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah pembinaan dan penghimpunan hadis, mulai dari masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in.
2.      Untuk mengetahui berbagai macam hadis yang ada.




II.                ISI dan PEMBAHASAN



2.1          Silsilaturrasul (Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadis)

Di antara Ulama tidak seragam dalam penyusunan periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini.  Ada yang membaginya kepada tiga periode saja, seperti masa Rasul SAW, Sahabat dan Tabi’in, masa pen-Tadwin-an dan masa setelah tadwin.  Ada yang membaginya kepada periodesasi yang lebih terperinci, sampai lima atau tujuh periode, dengan spesifikasi tertentu.
Terlepas dari pendapat ulama tentang periodesasi yang dikemukakan di atas, yang perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan di sini, ialah masa Rasulullah SAW, masa Sahabat, masa Tabi’in, masa pen-Tadwin-an atau pembukuan, serta masa seleksi atau penyaringan hadis.
A.       Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis.  Periode ini terhitung cukup singkat jika di banding dengan masa-masa berikutnya.  Masa ini berlangsung selama 23 tahun, mulai dari taahun 13 SH, bertepatan dengan tahun 610 M sampai dengan tahun 11 H bertepatan dengan tahun 632 M.  Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu (‘ashar al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadis.
Keadaan di atas sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran islam, dalam menerima kedua sumber di atas.  Karena pada tangan mereka kedua-duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris berikutnya secara berkesinambungan.
Wahyu yang di turunkan Allah kepada Rasul di jelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan ketetpannya (taqarir) di hadapan para sahabat.  Apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh mereka, merupakan pedoman bagi amaliah dan u’budiah mereka sehari-hari.  Dalam hal ini rasulullah SAW merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
1.      Beberapa Petunjuk Rasul SAW
Untuk lebih memberikan arti dan bobot bagi peningkatan kualitas para sahabat dalam menerima dan manyampaikan ajaran, Rasul SAW memberikan beberapa petunjuk dan spirit kepada mereka.  Banyak sekali sabda-sabdanya yang berkaitan dengan ini.  Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah misalnya, beliau bersabda “bahwa siapa saja yang di kehendaki oleh Allah adanya kebaikan pada dirinya, ia akan diberi kefahaman dalam soal agama”.
Rasul SAW juga sering menyampaikan doa-doanya kepada siapa saja yang menyampaikan ajarannya, agar dibukakan pintu hatinya, serta mendapat imbalan dari pada –Nya.  Dalam beberapa sabdanya beliau juga menyampaikan wasiat-wasiat untuk selalu menyampaikan hadis kepada orang lain.  Selain itu rasul juga menyatakan ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang Mujahid fi Sabilillah.
2.      Cara Menyampaikan Hadis
Ada beberapa teknik atau cara Rasul dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yang diseseuaikan dengan kondisi mereka.
a.       Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi.  Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b.      Dalam banyak kesempatan Rasul juga menyampaikan hadisnya kepada para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut di sampaikannya kepada orang lain.
c.       Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka oleh para sahabatnya.
Ada satu keistimewaan pada masa ini yang mebedakannya dengan masa yang lainnya.  Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul SAW sebagai sumber hadis.  Antara Rasul dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat pertemuan mereka.
Ada beberapa tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya adalah :
a.       Rasul bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah kepadanya dalam waktu yang cukup panjang.
b.      Rasul bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri.
c.       Rasul bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang terjadi pada para sahabat yang ditanyakan kepadanya.
d.      Rasul bermaksud menjelaskan kepastian hukum yang terjadi pada masyarakat yang di saksikan oleh para sahabat.
e.       Rasul bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.
3.      Keadaan Para Sahabat dalam Meneriam dan Menguasai Hadis
Dalam perolehan dan penguasaan hadis, antara satu sahabat dengan sahabat lainnya tidak sama.  Ada yang memiliki lebih banyak, ada yang sedang dan ada yang sedikit.  Hal ini terjadi, disamping karena bervariasinya teknik dan tempat yang di gunakan, juga tergantung kepada beberapa hal, antara lain :
a.       Perbedaan mereka dalam soal kesempatan mereka bersama Rasul.
b.      Perbedaan dalam hal kesanggupan mereka untuk selalu bersama Rasul.
c.       Perbedaan mereka dalam hal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
d.      Perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari majlis Rasul.
e.       Perbedaan kemampuan mereka dalam keterampilan menulis, untu menulis hadis.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebabnya, di antaranya adalah :
a.       As-shabiqun al-awwalun
b.      Ummahat al-mukminin
c.       Sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menulis hadis-hadis yang diterimanya.
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul, akan tetapi sangat efisien memanfaatkan setiap peluang atau kesempatan, disamping banyak bertanya kepa sahabat lainnya.
e.       Sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul, yang banyak bertanya kepada sahabat lain, dan dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafat Rasul SAW.
4.      Pemeliharaan Hadis dalam Hafalan dan Tulisan
a.       Aktifitas Menghafal Hadis
Rasullullah memerintahkan secara resmi agar menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.  Dengan demikian, maka hadis-hadis yang diterima Rasul SAW oleh para sahabat dihafal secara sungguh-sungguh dan hati-hati untuk tidak terjadi kekeliruan baik dalam lafadz maupun maknanya, dan supaya tidak tercampur dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Pertanyaan yang muncul ialah, mungkinkah hadis yang jumlahnya sangat banyak itu terpelihara dalam hafalan para sahabat? Jawabannya ialah “tentu sangat mungkin”.  Para sahabat melakukan hafalan-hafalan itu tidak saja hanya sendiri-sendiri, akan tetapi juga di lakukan dengan cara bekerjasama.
Ada alasan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada mereka dalam kefistan menghafal hadis ini, sehingga mereka dapat memaksimalkan kegiatan dan kekuatan hafalnnya, yaitu :
1.      Kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak jaman pra islam.
2.      Mereka terkenal sangat kuat hafalannya, jika dibanding bangsa-bangsa lainnya. 
3.      Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-do’anya agar mereka di beri kekeuatan hafalan dan mendapatkan kedudukan atau derajat yang tinggi bagi para penghafalnya.
4.      Seringkali beliau menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
b.      Aktifitas Mencatat dan Menulis Hadis
Banyak sekali sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan hadis, baik untuk disimpan sebagai catatan pribadi maupun untuk memberikan pesan kepada orang lain.  Di antara sahabat yang melakukan penulisan hadis dan memiliki catatan-catatan tersebut ialah :
a.       Abdullah bin Amr al- ‘Ash (27 SH-63 H)
b.      Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al- Anshari (16 SH-78 H)
c.       Anas bin Malik (10 SH- 93 H)
d.      Abu Hurairah ad- Dausi (19 SH- 59 H)
e.       Abu Syah (Umar bin Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk Yaman
f.       Abu Bakar ash- Shiddiq (50 SH- 13 H)
g.      Ali bin Abi Thalib (23 SH- 40 H)
h.      Abdullah bin Abbas (3 SH-68 H)

B.  Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya masa khulafa’ ar-rasyidin. Masa ini terhitung sejak tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang disebut juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa sahabat besar ini, perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an.  Dengan demikian maka periwayatan hadis belum begitu berkembang.
1.      Memelihara Amanah Rasul SAW
Para sahabat sebagai generasi pertama yang menerima amanah terbesar bagi kelangsungan syari’at islam, adalah menerima dan melaksanakan segala amanah Rasulullah.  Amanah itu esensinya tergantung pada al-Quar’an dan Hadis, sebagaimana sabdanya ketika menjelang akhir kerasulannya, yang berbunyi :


“telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidaka akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah(al-Qur’an) dan sunnahku”(H.R. al Hakim dari Abu Hurairah).
2.      Kehati-Hatian Sahabat dalam Menerima dan Meriwayatkan Hadis
Setelah Rasul SAW wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha menyebarluaskan dan memelihara al-Qur’an.  Al-Qur’an mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan ke berbagai pelosok wilayah islam dan keseluruh lapisan masyarakat.
Begitu pula halnya dengan upaya pemeliharaannya, mereka selalu mengulang-ilang hafalannya dan memelihara naskah-naskah tertulis yang ada.  Perhatian yang sangat serius terhadap upaya pemeliharaan ini pada puncaknya terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan.  Pertama pada masa Abu Bakar atas saran dari Umar bin Khattab, dak kedua pada masa Utsman bin Affan.
Meskipun perhatian mereka terpusat pada upaya pemeliharaan al-Qur’an, akan tetapi tidak berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.  Mereka memegang hadis sebagai amanah Rasul SAW sebagaimana halnya yang diterimanya secara utuh ketika beliau masih hidup.  Akan tetapi dalam meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.

C.     Hadis pada Masa Tabi’in
1.      Sikap dan Perhatian para Tabi’in terhadap Hadis
      Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis.  Hanya saja mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para sahabat.  Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka.  Selain itu, pada masa akhir periode khulafa’ ar-rasyidin, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam.  Ini merupakan kemudahan bagi para tabi;in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka.
       Ketika pemerintahan dipegang oleh bani umayah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol.  Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam itu, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran hadis.  Oleh karena itu masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar ar-riwayah).
2.      Pusat-Pusat Kegiatan Pembinaan Hadis
                        Sesuai dengan tersebarnya para sahabat ke wilayah-wilayah kekuasaan islam, maka tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, dan pada gilirannya menjadi pusat kegiatan para tabi’in dalam meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada muridnya.  Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman dan Khurasan.
3.      Para Penulis Hadis di Kalangan Tabi’in
                          Tentang menulis hadis, disamping melakukan hafalan secara teratur, di antara mereka juga menulis sebagian hadis-hadis yang diterimanya.  Selain itu mereka juga memiliki catatan-catatan atau surat-surat yang mereka langsung dari para sahabat sebagai gurunya.
                          Di antara tabi’in besar, yang memiliki tulisan atau yang menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, ialah Abban bin Utsman bin Affan, Ibrahim bin Yazin an-Nakha’i, Abu Salamah bin Abd ar-Rahman, Abu Qilabah, Ummu ad-Darda Juhaimah binti Yahya, Jabir bin Zaid al-Azdi, Hamran bin Aban, Khalid bin Ma’dan, Zakwan Abu Shalih as-Samman, Sa’id bin Jubair, Syuharil bin Syurahbil, Thawus bin Kaisan al-Yamani, ad-Dhahhak, Abdullah bin Rabbah al-Anshari, Abdullah bin Hurmuz, Ubaidillah bin Abu Rafi’, Urwah bin az-Zubair, dan Ikrimah serta Umar bin Abd al-Aziz. 
                          Sedangkan di antara para tabi’in muda, yang memiliki catatan atau menuliskannya ialah Ibrahim bin Abd al-A’la al-Ju’fi, Ibrahim bin Muslim al-Hajari, Ishak bin Abdullah, Ismail bin Abi Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin Abi Tamimah as-Sakhta-yani, Bakir bin Abdillah al-Asysyajj, Tsabit bin Aslam al-Bannani, Habib bin Salim al-Anshari, Hushain bin Abd ar-Rahman as-Sulami, Hafs bin Sulaiman at-Tamimi, Hmmad bin Abi Sulaiman, Zaid bin Rafi’ dan Nafi bin Yazid.

4.      Perpecahan Politik dan Pemalsuan Hadis
                        Peristiwa yang cukup mengkhawatirkan dalam sejarah perjalanan hadis, ialah terjadinya pemalsuan hadis, yang salah satu penyebabnya ialah terjadinya pepecahan politik dalam pemerintahan.  Dipandang mengkhawatirkan, karena merupakan tindakan yang mencemarkan dan menodai kemurnian hadis dari dalam, dan ini oleh para pengingkar dan orientalis dijadikan salah satu alasan kuat untuk melemahkan kedudukan hadis. 
                        Perpecahan politik itu sebenarnya terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.  Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok.
                        Dari persoalan politik tersebut, langsung tidak langsung cukup memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadis berikutnya.



D.    Masa Kodifikasi Hadis
            Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya ialah pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis.  Kodifikasi secara resmi berdasrkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini.
            Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan islam yang dipimpin oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.  Di antara instruksinya kepada para ulama Madinah ialah yang berbunyi :


            “perhatikan atau periksalah hadis-hadis Rasul SAW. Kemidian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahlinya.  Menurut suatu riwayat disebutkan,”meninggalnya para ulama”
1.      Latar Belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadis
                        Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. 
a.       Ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama dimedan perang.  Ini faktor yang paling utama, sebagai mana terlihat pada naskah surat-surat yang di kirimkan kepada ulama lainnya.  Sebab, peranan para ulama psda saat ini juga saat-saat sebelumnya, bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan juga turut kemedan perang, atau bahkan mengambil peranan penting dalam suatu pertempuran.
b.      Ia khawatir akan tercampuranya antara hadis-hadis yag shahih dengan hadis-hadis yang palsu. 
c.       Bahwa dengan semakin melusnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para Tabi’in antara satu dengan lainnya tidak sama jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. 

E.     Masa Seleksi, Penyempurnaan da Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
1.      Masa Seleksi Hadis
                                    Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan disini, ialah masa para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin.  Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III.  Atau ketika pemerintahan di pegang oleh dinasti Bani Abbas, khusunya masa al-Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa al-Muktadir.
                                    Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis Mauquf dan Maqthu dari hadis Marfu’.  Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang Dha’if dari yang Shahih.  Bahkan masih adanya hadis yang Maudhu’ tercampur pada hadis-hadis yang shahih.
                                    Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya.  Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya.  Para ulama pada nasa ini berhasil memisahkan hadis-hadis yang Dha’if dari yang Shahih, dan hadis-hadis yang Mauquf dan yang Maqthu’ dari yang Marfu’, meskipun berdasarkan penelitian para ulam berikutnya masih ditemukan tersisipnya hadis-hadis yang Dha’if pada kitab-kitab yang Shahih.
2.      Kitab-Kitab Induk yang Enam
                                    Secara lengkap, kitab-kitab induk yang enam tersebut di urutkan sebagai berikut :
a.       Al- Jami’ ash-Shahih susunan al-Bukhari
b.      Al-Jami’ ash-Shahih susunan Muslim
c.       As-Sunan susunan Abu Daud
d.      As-Sunan susunan at-Turmudzi
e.       As-Sunan susunan an-Nasa’i
f.       As-Sunan susunan Ibn Majah
3.      Masa Pengembanga dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
                                    Masa perkembangan hadis yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat hijriah terus berlangsung beberapa abad berikutbya.  Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.  Masa yang disebut terakhir ini tidak berarti tidak ada lagi ulama yang menyusun kitab-kitab hadis shahih.

2.2 Macam-Macam Hadis
Pengklasifikasian hadis dapat ditinjau dari berbagai segi, seperti pembagian hadis berdasarkan jumlah perawinya, berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya berdasarkan kedudukannya didalam hujjah, berdasarkan persambungan sanad-nya dan pihak yang disandarinya pada akhir sanad, serta berdasarkan penyandaran beritanya, yaitu kepada Allah SWT dan kepada Nabi SAW.  Uraian berikut ini membicarakan tentang hadis tersebut.
A.    Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Perawinya
Di tinjau dari segi jumlah perawinya, hadis terbagi kepada dua, yaitu :
1.      Hadis Mutawatir,  dan
2.      Hadis Ahad
Di antara Ulumul Hadis, ada yang membaginya menjadi tiga, yaitu :
1.      Hadis Mutawatir,
2.       Hadis Masyhur, dan
3.       Hadis Ahad

1.      Hadis Mutawatir
a.       Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fa’il dan kata al-tawatur, yang berarti al-tatabu’, yaitu berturut-turut.
Hadis mutawatir adalah hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurutr hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.
b.      Kriteria Hadis Mutawatir
1.      Perawi hadis tersebut terdiri atas jumlah yang banyak.  Sekurang-kurang jumlahnya, menurut sebhagian ulama hadis, adalah sepuluh orang. Namun ada yang berpendapat minimal empat orang dalam setiap tabaqat, dan masih banyak pendapat-pendapat lainnya.  Penentuan jumlah tersebut sebenarnya adalh relatif, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah terpenuhinya syarat, yaitu mustahilnya mereka untuk bersepakat melakukan dusta atas berita yang mereka riwayatkan.
2.      Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad.
3.      Mustahil menurut adat bahwa mereka dapat sepakat untuk berbuat dusta.
4.      Sandaran riwayat mereka adalah pancaindera, yaitu sesuatu yang dapat dijangkau oleh pancaindera (mahsusat), umpamanya melalui pendengaran atau penglihatan.
c.       Macam-Macam Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir terbagi kepada dua, yaitu : Mutawatir Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi
1.      Mutawatir Lafdzi
Hadis yang diriwayatkan dengan lafadznya oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi yang lain yang tidak di sangsikan bahwa mereka akan bersepakat untuk berbuat dusta, dari awal sampai ke akhir sanad-nya.
2.      Mutawatir Ma’nawi
Hadis yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya.
d.      Hukum dan Kedudukan Hadis Mutawatir
Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al wurud, yaitu pasti keberadaannya dan menghasilkan ilmu yang dharuri (pasti),  oleh karenanya, adalah wajib bagi umat islam untuk menerima dan mengamalkannya.  Dan karenanya pula orang yang menolak Hadis Mutawatir dihukumkan kafir.  Seluruh hadis mutawatir adalah maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya tidak di perlukan lagi.
2.      Hadis Ahad
a. Pengertian Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada hadis Mutawatir ataupun hadis Masyhur.

b. Macam-Macam Hadis Ahad
Hadis Ahad terbagi menjadi tiga macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
1.      Hadis Masyhur
Adalah hadis yang memiliki perawi sekurang-kurangnya tiga orang, dan jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad. Di kalangan Ulama Hanafiah, Hadis Masyhur hukumnya adalah zhann, yaitu mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya.
2.      Hadis ‘Aziz
Adalah hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih dengan syarat bahwa pada salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang.
3.      Hadis Gharib
Adalah setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungkin hanya pada satu tungkatan sanad, maka hadis tersebut di namakan hadis Gharib.
Pembagian Hadis Gharib
-Gharib Mutlaq
-Gharib Nisbi
B.     Pembagian Hadis Berdasarkan Sanad dan Matan-nya
Di tinjau dari kualitas sanad dan matannya, atau berdasarkan kepada kuat dan lemahnya, hadis terbagi menjadi dua golongan, yaitu Hadis Maqbul dan Hadis Mardud.
Yang di maksud dengan Hadis Maqbul adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat qabul.  Hadis maqbul ini terdiri atas Hadis Shahih dan Hadis Hasan.  Sedangkan yang dimaksud dengan Hadis Mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadis Mardud dinamai juga dengan Hadis Dha’if.
Berikut ini adalah penjelasan tentang masing-masing dari pembagian hadis berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya.
1.      Hadis Shahih
Adalah hadis yang berhubungan (bersambung) sanad-nya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber-‘illat.
Para Ulama menyimpulkan beberapa kriteria tentang hadis Shahih tersebut, adalah :
1.      Sanad hadis tersebut harus bersambung
2.      Perawinya adalah adil
3.      Perawinya adalah dhabith
4.      Hadis yang di riwayatkan tidak Syadz
5.      Hadis riwayat tersebut selamat dari ‘illat
Kelima syarat tersebut merupaakan tolak ukur untuk menentukan suatu hadis itu sebagai Hadis Shahih.  Apabila kelima syarat itu dapat terpenui dengan sempurna, maka hadis tersebut dinamai dengan Hadis Shahih Lidzatihi.
Tingkatan Hadis Shahih
Ashahh al-Asanid yaitu jalur sanad yang di anggap para perawinya paling Shahih berdasarkan kesempurnaan pemenuhan syarat-syarat ke-shahih-an suatu hadis.  Akan tetapi, para ulama Hadis mempunyai penilaian masing-masing tentang sanad yang mereka anggap sebagai Ashahh al-Asanid.  Oleh karenanya, terdapat lima jalur yang di anggap sebagai  Ashahh al-Asanid, yaitu :
1.      Ashahh-alAsanid menurut versi Ishaq Ibn Rahawaih dan Ahmad adalah :Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya (A’bd Allah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab)
2.      Ashahh al-Asanid menurut versi ibn Madini dan Al-Fallas adalah : Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari Ali Ibn Abi Thalib
3.      Ashahh al-Asanid menurut versi Ibn Ma’in adalah : Al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abd Allah Ibn Mas’ud
4.      Ashahh al-Asanid menurut versi Abu Bakar ibn Abi Syaibah adalah :Al-Zuhri dari Ali Ibn al-Husain dari ayahnya dari Ali ibn Abi Thalib
5.      Ashahh al-Asanid menurut versi bukhari adalah : Malik dari nafi’ dari Ibn ‘Umar
Macam-Macam Hadis Shahih
1.      Shahih Lidzatihi
2.      Shahih Lighairihi
Hukum dan Status Ke-hujjah-an Hadis Shahih
Hukum hadis shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya.
2.      Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang Shahih yang perawinya memiliki sifat Dhabith lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih.  Oleh karena itu, kriterianya ada lima, yaitu :
1.      Sanad hadis tersebut harus bersambung
2.      Perwinya adalah hadis
3.      Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah
4.      Hadis yang di riwayatkan tersebut tidak syadz
5.      Hadis yang di riwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak
Macam-Macam hadis Hasan
1.      Hasan Lidzatihi
2.      Hasan Lighairihi
Hukum dan Kehujjahan Hadis Hasan
Adalah hadis yang dapat diterima dan di pergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam penetapan hukum atau dalam beramal.
3.      Hadis Dha’if
Hadis Dha’if adalah hadis Mardud, yaitu hadis yang di tolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan sesuatu hukum.  Kata al-dha’if secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy, yang berarti “lemah”.  Pengertiannya menurut istilah ulama hadis adalah :

“Hadis Dha’if adalah setiap hadis yang tidak trehimpun padanya keseluruhan sifat Qabul”.  Kriteria hadis Dha’if ada dua, yaitu :
1.      Terputusnya hubungan antara satu perawi dengan perawi lain di dalam sanad hadis tersebut, yang seharusnya bersambung.
2.      Terdapatnya cacat pada diri salah seorang perawi atau matan dari hadis tersebut.
Macam-Macam Hadis Dhai’if
Berdasarkan sebab-sebab ke-Dha’if-an suatu hadis, hadis dha’if terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1.      Pembagian hadis Dhai’if ditinjau dari segi terputusnya sanad
Ditinjau dari segi terputusnya sanad hadis, hadis dha’if terbagi kepada:
a.       Hadis Mu’allaq
Pengertian hadis mu’allaq menurut istilah ilmu hadis adalah :



“(yaitu) hadis yang di hapus dari awal sanad-nya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut”
Contoh hadis mu’allaq :



“hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari pada Mukaddimah bab mengenai “menutupi paha”, ‘berkata Abu Musa,’”Rasulullah SAW menutupi kedua lutut beliau ketika Utsman masuk”.
Hadis di atas adalah mu’allaq, karena Bukhari menghapus seluruh sanad-nya kecuali Sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.  Hadis Mu’allaq hukumnya adalah mardud(tertolak), karena tidak trpenuhinya salah satu syarat Qabul, yaitu persambungan sanad.
2.      Hadis Mursal
Menurut ilmu hadis, pengertiannya adalah :



“(hadis Mursal) adalah hadis yang gugur dari akhir sanad-nya, seorang perawi sesudah Tabi’i”.
Atau :





“yaitu hadis yang diangkatkan oleh tabi’i kepada Rasul SAW dari perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau, baik Tabi’i itu kecil ataupun besar”.  Pada dasarnya hukum hadis mursal adalah Dha’if dan ditolak(mardud).           
Contoh hadis mursal :







“Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim didalam kitab Shahih-nya pada bagian “jual beli”(kitab Al-Buyu’) dia berkata,”telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Uqail dari ibn Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah kurma yang masih berada di pohon.  Dengan kurma yang sudah di keringkan”

3.      Hadis Mu’dhal
Adalah setia hadis yang gugur dua orang perawi atau lebih dari sanad-nya secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, dipertengahan atau di akhir sanad.  Salah satu contoh hadis Mu’dhal adalah hadis Imam Malik yang di muat di dalam kitabnya al-Muwaththa’, yaitu :





“telah menceritakan kepadaku Malik, bahwasanya telah sampai kepadanya berita bahwa Abu Hurairah berkata “Rasulullah SAW bersabda,’hak bagi hamba adalah makanannya dan pakaiannya secara baik(ma’ruf)”.
Hadis ini adalah Mu’dhal karena gugur dua orang perawinya secara berturut-turut.  Hukum hadis ma’dhal adalah Dha’if.

4.      Hadis Munqathi’
Menurut istilah ilmu hadis berarti :


“hadis Munqathi’ adalah hadis yang tidak bersambung sanad-nya, dan keterputusan sanad tersebut bisa terjadi dimana saja”.
Contoh hadis munqathi’ :




“hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq dari al-Tsauri dari Abi Ishaq dari Zaid ibn Yutsi’ dari Huzaifah yang menyatakannya sebagai hadis Marfu’(berasal dari Nabi SAW):jika kamu mengangkat Abu Bakar (sebagai pemimpin), maka dia adalah orang yang kuat dan terpercaya”.
Para ulama hadis munqathi’ percaya bahwa hukum hadis tersebut adalah Dha’if, karena tidak diketahui keadaan perawi yangugurkan.

5.      Hadis Mudallas   
Pengertiannya dalam ilmu hadis adalah :


“menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya seperti baik”.
Hadis Mudhallas terbagi dua, yaitu :
-tadlis al-isnad
-tadlis al-syuyukh

2.    Pembagian Hadis Dha’if ditinjau dari segi cacatnya Perawi Hadis.

Yang di maksud dengan cacat pada perawi adalah bahwa terdapat kekurangan atau cacat (jarh) pada diri perawi tersebut, baik dari segi keadilannya, agamanya atau dari segi ingatan, hafalan dan ketelitiannya.  Pada uraian berikut ini akan dijelaskan macam-macam Hadis Dha’if berdsarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya.
a.       Hadis Matruk
Suatu hadis yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kadzib, pembohong atau pendusta disebut hadis matruk.  Yang dimaksud dengan hadis matruk dalam istilah ilmu hadis adalah :
“yaitu hadis yang terdapat pada sanad-nya perawi yan g tertuduh dusta”.
Salah satu contoh hadis matruk adalah :



“hadis Amr ibn Syamr al-Ja’fi al-Kufi al-Syi’i dari Jabir dari Abi al-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata,”adalah Nabi SAW berkunut pada shalat subuh dan bertakbir pada hari Arafah mulai dari shalat subuh dan berakhir pada waktu shalat asar di akhir hari tasyrik”.
b.      Hadis Munkar
Adalah hadis yang perwinya memiliki cacat dalam kadar sangat kelirunya atau nyata kefasikannya.  Para ulama hadis memberikan definisi hadis mungkar, yaitu :




“yaitu hadis yang terdapat pada sanad-nya seorang perawi yang sangat kelirunya, atau sering kali lalai terlihat kefasikannya secara nyata”.
c.       Hadis Mu’allal
Adalah hadis yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.  Para ulama hadis mendefinisikannya sebagai berikut :




“hadis yang apabila teliti secara cermat terdapat padanya ‘Illat yang merusak ke-shahih-an hadis tersebut meskipun tampak secara lahirnya tidak bercacat”.

d.      Hadis Mudraj
Adalah hadis yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadis tersebut.  Hadis mudraj terbagi tiga, yaitu :
1.      Mudraj al-Isnad
2.      Mudraj al-Matan
3.      Mudraj di akhir hadis
e.       Hadis Maqlub



“mengganti suatu lafaz dengan lafaz yang lain pada danad hadis atau pada matan-nya dengan cara mendahulukan atau mengkemudiankan-nya”.
Maqlub terbagi kepada dua macam, yaitu:
1.      Maqlub sanad, yaityu penggantian yang terjadi pada sanad hadis
2.      Maqlub matan, yaitu penggantian yang terjadi pada matan hadis
Hadis maqlub hukumnya Dha’if dan karenanya tertolak serta tidak dapat dijadikan dalil dalam beramal dan untuk merumuskan sesuatu hukum.
f.       Hadis Mudhtharib
Dalam istilah ilmu hadis, pengertiannya adalah :



“hadis yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat”.
Suatu hadis dapat disebut mudhtharib apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :
1.      Terjadinya perbedaan riwayat tentang suatu hadis yang perbedaan tersebut tidak dapat dikompromikan
2.      Masing-masing riwayat mempunyai kekuatan yang sama, sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih terhadap salah satu dari riwayat yang memiliki perbedaan tersebut.


Hadis mudhtharib terbagi dua, yaitu :
1.      Mudhtharib al-sanad, contohnya :


“hadis Abu Bakar r.a, bahwasanya dia berkata, “ya Rasulullah, aku lihat engkau telah beruban.”Rasulullah SAW menjawab, “Hud dan saudara-saudaranya yang telah menyebabkan aku beruban,”(HR Al-Tirmidzi).
2.    Mudhtharib al-Matan
Hukum hadis mudhtharib adalah Dha’if, karena terdapatnya perbedaan dan pertentangan dalam periwayatan hadis tersebut, yang hal ini merupakan indikasi bahwa perawinya tidak memiliki sifat dhabith.  Sementara adanya sifat al-dhabith adalah syarat dari hadis Shahih dan Hasan.
g.      Hadis Mushahhaf
Ulama hadis memberikan definisi tentang hadis mushahhaf :



“perubahan satu huruf atau beberapa huruf dengan perubahan titik, sementara bentuk tulisannya tetap”.
Hadis mushahhafdilihat dari  tempat terjadinya terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Tashhif pada sanad
2.      Tashhif pada matan
Sedangkan berdasarkan sumbernya, tashhif terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Tashhif bashar
2.      Tashhif al-Sama’
h.      Hadis Syadz
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu seorang yang adil dan sempurna ke-dhabit-annya, akan tetapi hadis tersebut berlawanan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih adil dan lebih dhabit dari pada perawi pertama tadi. Hukum hadis Syadz adalah mardhut, yaitu ditolak. Hadis yang berlawanan dengan hadis syadz disebut dengan hadis mahfuzh yang hukumnya adalah maqbul yaitu diterima.
C. Pembagian Hadis Berdasarkan tempat penyandalannya.
1. Hadis Qudsi
               Menurut istilah ilmu hadis pengertian hadis qudsi adalah :
            “ yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW. Yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT”.
Definisi diatas menjelaskan bahwa hadis qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasul SAW namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. akan tetapi, meskipun itu adalah perkataan ataufirman Alllah, hadis qudsi bukanlah Alqur’an bahkan keduanya berbeda.
2. Hadis Marfu’
            Adalah
            “ segala sesuatu yang disnadarkan kepada nabi dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqril (pengakuan/penetapan), ataupun sifat “. Hukum hadis marfu’ tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga degang demikian memeungkinkan seaatu hadis marfu’ itu berstatus shahih, Hasan atau Dha’if.
3.      Hadis Mauquf
      Adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari, atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan. Dan sangat hadis mauqus tersebut boleh jadi mudtashil (bersambung), atau muntathi (terputus). Contoh hadis mauquf dalam bentuk perkataan adalah :


bukhari berkata, “ Ali R.A. berkata, ‘berbicaralah dengan manusia tentang apa yang diketahui/dipahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasulnya didustai ‘.”
Atau dalam bentuk perbuatan yaitu :


Bukhari berkata “ dan Ibn’Abbas telah menjadi imam dalam shalat sedangkan dia bertayamum “.
                  Diantara hadis mauquf terdapat hadis yang lafat dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu’,yaitu berhubungab dengan Rasul SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadis dengan al-mauquf lafzhan al-marfu’ ma’nan, yaitu : secara lafat bersatus maukuf namun secara makna berstatus marfu’.

4.      Hadis Maqthu’
                  Secara etimologi qatha’a adalah lawan dari washala, yang berarti putus atau terputus. Sedangkan secara terminology hadis maqthu’ :
Yaitu sesuatu yang terhenti (sampai) pada tabi’I baik perkataan maupun perbuatan tabi’i tersebut. Contoh hadis maqthu’ adalah :



Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat dibelakang ahli bid’ah : “ shalatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid’ah nya “.
Hasis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hutjah atau dalil untuk menetapkan seseuatu hukum, karena status dari perkataan tabi’in sama dengan perkataan ulama lainnya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar