Jumat, 12 November 2010

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


BAB I
PENDAHULUAN
Rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang sistematis merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam peradaban Islam. Hal ini tidak mengherankan karena Islam adalah sebuah agama yang rasional tetapi bukan sebuah agama yang rasionalistis (berpijak pada rasio semata). Agama Islam mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal sebagai inti dalam tradisi-tradisi agama dan dalam mempertahankan sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan. Islam tak hanya menghargai dan menyuruh belajar tapi juga memberikan metode pengamatan yang rasional. Dengan begitu, Islam tidak hanya menghasilkan “ilmuwan-ilmuwan” besar, tetapi juga sebuah tradisi sains yang menyeluruh -sebuah tradisi yang mengintegrasikan obyektifitas ilmiah di dalam Filsafat Islam.[1]
Aristoteles memulai metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”.[2] Pernyataan ini tampak berbenturan dengan generasi sebelumnya, Sokrates, yang menganggap “ia tahu bahwa ia tidak tahu”, sehingga Delphi menginterpretasikan tidak ada manusia yang lebih bijaksana dari pada Sokrates dengan pernyataan: “tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Sokrates sendiri yang mengetahui bahwa ia tidak tahu”.
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia dan pandangan Sokrates yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan kodrati manusia, sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial harus dipertentangkan satu sama lain. Akan tetapi pada prinsipnya dapat ditemukan relasi dari keduanya. Langkah pertama menuju pengetahuan yang dibayangkan Aristoteles sejatinya merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada keinginan untuk tahu dan keinginan tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat ditarik dari keduanya adalah eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti ada pada diri manusia.
Pengetahuan bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah dapat didefenisikan. Kenneth T. Gallagher, sebagaimana disadur P Hardono Hadi, menyebutkan pengetahuan sebagai “sui genis”, artinya sesuatu yang berhubungan dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar.[3] Sementara itu, upaya mendefinisikan sesuatu berarti meletakkan sesuatu itu pada istilah-istilah yang paling sederhana dan mudah dimengerti, dengan demikian tidak ada pertanyaan mengenai“pengetahuan”. Namun demikian, untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih sistematis dan terarah, sesederhana apapun istilah pengetahuan itu harus tetap diberikan batasan.
Pengetahuan yang dimaksud pada tulisan ini adalah pengetahuan yang dibicarakan dalam ranah filsafat, mengingat bahasan mengenai pengetahuan manusia secara umum yang menjadi konsentrasi kajian pada tulisan ini bertujuan untuk memahami fondasi dan metodologi penedekatan dalam studi Islam. Oleh karenanya, kajian yang dipaparkan pada tulisan ini secara umum akan menggambarkan pengetahuan dalam pendekatan filsafat pengetahuan (epistemologi) sebagai bagian yang banyak dibicarakan pada kajian filsafat ilmu. 
Seringkali pengetahuan dijadikan sebagai sesuatu untuk membedakan manusia dengan binatang. Padahal secara essensial pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang membedakan keduanya, karena dalam faktanya pengetahuan merupakan sesuatu yang juga dimiliki oleh binatang. Kambing misalnya, tentu akan menolak disuguhkan daging karena dia tahu bahwa daging bukan makanannya, sebaliknya harimau dapat dipastikan akan mengincar daging meski tanpa disuguhkan sebelumnya daripada harus menikmati rerumputan yang tumbuh subur di sekitarnya. Analogi ini jelas menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan bagian yang selalu melekat pada keduanya (manusia dan binatang). 
Perbedaan manusia dan binatang dalam soal pengetahuan terletak pada taraf perkembangannya. Penegasan ini akan lebih mudah dipahami dengan analogi yang dikutip Jujun S. Suryasumantri dari ceramah seorang ilmuan bernama Andi Hakim Nasution: “sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini akan dilestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia Jawa,…”. Jujun selanjutnya menegaskan bahwa kemampuan menalar yang dimiliki manusia menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya.[4] Binatang memang memiliki pengetahuan, namun pengetahuan tersebut terbatas pada usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Jujun S. Suryasumantri lebih jauh menyebutkan penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini akan menghasilkan pengetahuan yang ditempuh melalui proses berpikir sebagai upaya untuk menemukan pengetahuan yang benar.[5] Proses penalaran ini pula yang selanjutnya dapat membedakan antara pengetahuan biasa dengan pengetahuan ilmiah. Sebagaimana disebutkan C.A Van Peursen, pengetahuan dalam kajian filsafat memiliki keluasan makna tidak hanya meliputi pengetahuan ilmiah, melainkan juga pengetahuan biasa berupa pengalaman pribadi, melihat dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa.[6] Proses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan biasa ke arah pengetahuan ilmiah yang melibatkan metode dan sistem-sistem tertentu, termasuk di dalamnya pengetahuan yang dihasilkan dengan jalan filsafat, sebagai sebuah gambaran umum akan dipaparkan lebih jauh pada makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Cara Meperoleh Ilmu Pengetahuan
C.A Van Peursen memberikan pengertian yang sangat sederhana tentang pengetahuan, bahwa manusia sadar akan barang-barang disekitarnya. Dalam pandangannya, ada dua macam pengetahuan yang menjadi pusat perhatian, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera dan pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi. Seringkali ahli pikir Yunani mempertentangkan antara keduanya: pengetahuan yang diperoleh berdasarkan panca indera digambarkan sebagai pengetahuan yang tidak menentu dan menyesatkan, sedangkan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan akal budi dihormati sebagai pengetahuan sejati. Padahal dalam pandangan Van Peursen  pengetahuan lewat akal budi sesungguhnya berkembang dari pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera.[7]
Penegasan di atas menunjukkan bahwa, baik pengetahuan biasa maupun pengetahuan ilmiah, sejatinya berawal dari cara yang sama. Hanya saja pada level pengetahuan ilmiah, pengetahuan manusia telah mengalami perkembangan-perkembangan tertentu yang dianggap sebagai kesimpulan yang benar. Lebih jauh Van Peursen menjelaskan, panca indera menyajikan pengalaman dan observasi seperti melihat sebatang pohon, mencium sate kambing dan sebagainya. Panca indera akan melihat sebatang pohon sebagai pohon, dalam hal ini akal budi berperan untuk memproses pengetahuan tersebut, memberikan nama pada pohon tersebut; memaklumi sifatnya yang keras, sukar ditembus, dan lain sebagainya; atau mengambil jarak pada pohon tersebut karena memaklumi sifatnya. Akal budi ditafsirkan sebagai bakat pengetahuan aktif daripada panca indera yang lebih bersifat pasif.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan ilmiah, pada hakikatnya berawal dari pengalaman yang diperoleh berdasarkan proses ‘pencernaan’ panca indera. Proses pencernaan panca indera terhadap objek tertentu akan melahirkan pengalaman-pengalaman seperti: rasa gula yang manis, warna daun yang hijau, atau suara petasan yang membisingkan. Pengalaman-pengalaman sederhana tersebut mengalami perkembangan ketika manusia memunculkan pertanyaan: mengapa gula mempengaruhi rasa air yang melarutkannya?; bagaimana daun berwarna hijau yang menempel di ranting pohon dapat berubah menjadi kuning ketika daun tersebut jatuh ke tanah?; apa yang dapat dilakukan agar suara petasan tidak terdengar bising di telinga?. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan memberikan manusia pengetahuan yang baru, sebab pengetahuan – sebagaimana disebutkan Jujun – merupakan serangkaian jawaban dari berbagai persoalan hidup manusia.
Sidi Gazalba menyebutkan, dalam sejarah filsafat pengetahuan lazimnya diperoleh melalui salah satu dari empat cara, yaitu: pengetahuan yang dibawa sejak lahir; pengetahuan yang diperoleh berdasarkan budi; pengetahuan yang diperoleh berdasarkan indera-indera khusus seperti pendengaran, ciuman, dan rabaan; dan atau pengetahuan yang diperoleh dari penghayatan langsung atau ilham.[8]Sementara itu, Jujun S. Suryasumantri memandang pengetahuan berkembang dari upaya manusia untuk menafsirkan dan memahami gejala alam. Pada awalnya, gejala alam dipersepsi sebagai pencerminan dari kepribadian dan kelakuan makhluk luar biasa yang melahirkan mitos seperti dewa yang pemarah, dewa hujan, atau dewa cinta.
Pada tahap selanjutnya, pengetahuan manusia berkembang ditandai dengan usaha manusia untuk menafsirkan dunia terlepas dari belenggu mitos. Manusia mengembangkan pengetahuannya dengan mempelajari alam berdasarkan akal sehat (common sense) sembari mengembangkan metode mencoba-coba (trial and error). Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang memiliki kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari dan bertujuan untuk memperkaya spiritual. Jujun lebih jauh menekankan, akal sehat dan cara mencoba-coba ini memiliki peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Akal sehat (common sense) merupakan cara yang paling mendasar bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Filsafat dan ilmu bahkan harus diawali dengan akal sehat (common sense) sebab keduanya tidak memiliki landasan awal yang lain untuk berpijak. Sebagaimana dikutip Jujun berdasarkan Randall dan Buchler pada buku Philosophy: A Introduction. akal sehat dimaknai sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja, bersifat sporadis dan kebetulan, dengan karakteristik: pertama, berakar pada adat dan tradisi sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan; kedua, landasannya berakar kurang kuat sehingga kesimpulan yang ditarik sering berdasarkan asumsi; dan ke tiga, karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi dan tidak dikaji lebih lanjut sehingga akal sehat menjadi pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan pengetahuan manusia pada tahap selanjutnya ditandai dengan tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Jujun menegaskan, rasionalisme sering menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau dari alur-alur logika yang digunakannya, namun sangat bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Kelemahan rasionalisme ini kemudian menyebabkan lahirnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman.[9]
Ada semacam benturan serius ketika rasionalisme dan empirisme dihadapkan. Metode eksperimen kemudian lahir untuk menjembatani keduanya, di mana penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional mengambil pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode eksperimen yang belakangan berkembang menjadi paradigma ilmiah pada mulanya dikembangkan oleh para sarjana muslim dan diperkenalkan di dunia Barat oleh Roger Bacon (1214-1294), kemudian mendapatkan penyempurnaan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626). Pengembangan metode ini selanjutnya diterima sebagai paradigma (metode) ilmiah sehingga sejarah manusia dapat menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat.
Pengetahuan manusia pada umumnya dikelompokkan ke dalam empat jenis pengetahuan, yaitu: pertama, pengetahuan umum (common sense) sebagai pengetahuan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa mengetahui seluk beluk yang luas dan mendalam; kedua, pengetahuan ilmiah (sains), yaitu pengetahuan yang masih berkisar di seputar pengalaman dan diperoleh melalui metodologi dan cara-cara tertentu; ketiga, pengetahuan filsafat, merupakan pengetahuan tanpa batas dengan menggunakan pengkajian secara mendalam dan hakiki menembus batas pengalaman biasa; dan keempat, pengetahuan agama sebagai pengetahuan yang dapat diperoleh melalui Tuhan lewat perantaraan utusan-Nya, biasanya bersifat mutlak dan wajib diikuti.[10]
Jika pada pemaparan sebelumnya diketahui beberapa cara manusia memperoleh pengetahuan antara lain: pengalaman; akal sehat (common sense); trial and eror (metode mencoba-coba); dan metode eksperimen sebagai paradigma ilmiah, maka berdasarkan pengelompokkan jenis pengetahuan manusia ini diketahui pula cara lain manusia memperoleh pengetahuan, yaitu: filsafat dan agama. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan cara yang saling bertentangan satu sama lain. Filsafat misalnya, menjadi metode pencarian kebenaran yang masih dipersoalkan oleh kelompok agamais dengan pertanyaan: mungkinkah kebenaran/pengetahuan dapat diperoleh melalui jalan filsafat?. Sebagaimana disinggung Nur Ahmad Fadhil Lubis dalam bukunya Pengantar Filsafat Umum, filsafat tidak menawarkan jawaban yang pasti dan jalan keluar yang aman, justru mempersoalkan permasalahan sehari-hari yang sama sekali tidak dipersoalkan.[11] Sebaliknya, agama kerap dipersepsi sebagai rumusan yang telah selesai dan tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya.
 Selain filsafat dan agama sebagai cara yang lain untuk memperoleh pengetahuan, beberapa tokoh filsafat juga menyebutkan “intuisi” sebagai salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan. Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Henry Bergson mengaggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal. Ibn Arabi merupakan salah satu tokoh dari literatur Islam yang menganggap penting intuisi sebagai sumber untuk memperoleh pengetahuan. Bahkan, intuisi boleh dikatakan sebagai intisari dari filsafat mistis Ibn Ar-Rabi.[12]
Dari sejumlah penjelasan di atas, dapat ditemukan beberapa cara manusia memperoleh serta mengembangkan pengetahuan. Cara-cara tersebut adalah: pengalaman, common sense (akal sehat), trial and eror (metode mencoba-coba), metode eksperimen yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai pengetahuan ilmiah, filsafat, agama, dan intuisi. Perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahun biasa kepada pengetahuan ilmiah dapat dijelaskan sebagaimana gejala tahu yang dirumuskan para pemikir filsafat, yaitu: pertama, tidak dari permulaan adanya manusia itu tahu sehingga ia ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya; kedua, lahir keinginan manusia untuk mengajukan pertanyaan guna menemukan jawaban yang memuaskan, dan pengetahuan yang memuaskan adalah pengetahuan yang benar; ketiga, sasaran atau objek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada atau yang mungkin ada yang mampu merangsang keingintahuan manusia; dan keempat, hasil dari gejala mengetahui adalah manusia secara sadar tahu bahwa ia tahu.[13]
B.     Tujuan Mempelajari Ilmu Pengetahuan
Tujuan mempelajari sesuatu masalah di dalam Islam adalah karena pentingnya bagi masyarakat atau relevansi sosialnya. Di dalam Islam tidak terdapat ide: sains untuk sains. Islam juga menolak pengertian tentang sains yang utilitarian murni. Legitimasi untuk mempelajari sains kita jumpai dalam AlQuran dimana manusia diperintahkan untuk merenungkan kejadian langit, bumi, dan segala sesuatu yang dikandungnya. Jika engkau mengucapkan dan meyakini Allah Maha Mengetahui, maka engkau tak berhak untuk tetap berada dalam kebodohan.
Di Sini, Islam menekankan pentingnya pengetahuan murni dan menyuruh manusia menuntut pengetahuan untuk kesempurnaan hidupnya.[14] Apakah yang lebih bermanfaat bagi manusia selain pengetahuan yang merupakan hiasan jiwanya dan alat untuk mencapai kesempurnaannya. Namun, nikmat dalam menuntut ilmu itu harus dibarengi dengan manfaatnya dan fungsi sosialnya. Lebih dari sekedar untuk dinikmati, pengetahuan itu harus merupakan alat untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih luhur. Setiap ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari wahyu maupun yang berasal dari penyelidikan ilmiah dapat berubah menjadi ilmu yang “patut dikutuk” jika buta terhadap tujuan yang sebenarnya.
Bagaimana suatu ilmu pengetahuan menjadi terkutuk? Bila sains itu membawa bencana. Bila ia merugikan masyarakat, bila ia cenderung kepada suatu tingkat abstraksi yang membuat manusia terasing dari saudara-saudaranya, dan bila ia tak menerangi tapi menyesatkan [4]. Epistemologi Islam menghendaki sebuah metodologi yang menyertakan pengalaman batin manusia maupun penginderaan, eksperimen, deduksi dan induksi. Pengalaman manusia sebagai makhluk yang sempurna tak hanya mencakup rangsangan-rangsangan fisik dan indera, tetapi mencakup pula intuisi intelektual dan proses-proses psikis. Memisahkan pengalaman fisik dan pengalaman batin akan merendahkan kepribadian manusia, mengasingkan manusia, dan akhirnya menghancurkan manusia. Bagi manusia yang “utuh” semua pengalaman adalah riil seperti riilnya gaya berat. Oleh karena itu semua pengalaman patut dievaluasi dan diselidiki. Mengabaikan salah satu di antara pengalaman-pengalaman itu berarti mengabaikan realitas itu sendiri. Islam menyuruh penganut-penganutnya untuk mendekati realitas itu secara keseluruhannya. Sebuah pernyataan yang tepat sekali mengenai pengakuan konsep di atas adalah sebuah ucapan yang menyangkal dan menetapkan. “Tidak ada sesuatu realitas pun kecuali Realitas yang Esa” (Laa ilaha Illallah). Semua realitas yang ada hanyalah nisbi dan bergantung kepada Relaitas Yang Esa itu. Segenap ketentuan-ketentuan jagad raya, baik yang berwujud maupun yang tak berwujud, baik yang halus maupun kasar, hanyalah pertanda dari Realitas Yang Esa, darimana ketentuan-ketentuan itu muncul melalui proses penciptaan atau manifestasi diri. Untuk mendapatkan pandangan yang sempurna terhadap realitas itu, penginderaan kita harus dibantu dengan semacam penginderaan yang di dalam Al Quran disebut fu’ad atau Qalb atau mata batin. Mata batin ini adalah semacam intuisi batin atau wawasan yang menurut rangkaian kata-kata indah dari Maulana Jalaluddin Rumi “Hidup dari cahaya matahari dan menghubungkan kita kepada aspek-aspek Realitas yang berbeda dari realitas-realitas yang terbuka bagi akal kita secara analitis dan penginderaan”. Sesungguhnya mata batin adalah sesuatu yang “menyaksikan” dan “laporan-laporannya” tidak pernah salah jika ditafsirkan sebagaimana mestinya. Ini tak berarti bahwa mata batin itu adalah sebuah modus berhubungan dengan Realitas itu dimana sensasi-sensasi fisiologis tak berperan. Namun pengalaman yang dibentangkan di depan kita sama nyata dan konkritnya seperti setiap pengalaman fisik. Untuk menerangkannya sebagai pengalaman “spiritual” “mistis” maupun “supernatural” tak mengurangi nilainya sebagai sebuah pengalaman.

C.    Arti dan Perbedaan antara Pengetahuan, Ilmu, dan Filasafat.

       I.            Pengetahuan
Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat pada pembahasan sebelumnya banyak disinggung sebagai bagian dari ruang lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, meskipun ketiganya memiliki persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan perbedaan-perbedaan mendasar, baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk memperolehnya. Untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut lebih jauh, sangat penting terlebih dahulu dipaparkan pengertian dari ketiganya.
Dalam Encyclopedia of Philosophy – sebagaimana dikutip Selamat Ibrahim S. DEA, pengetahuan didefenisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Berdasarkan pengertian ini ia menyimpulkan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang harus benar, sebab jika tidak benar maka sesuatu itu bukan merupakan pengetahuan melainkan kekeliruan atau kontradiksi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah setiap pengetahuan harus memiliki kesimpulan yang benar?.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia, baik pengetahuan tersebut merupakan kesimpulan yang benar maupun pengetahuan dengan kesimpulan yang salah (keliru). Pada bagian terdahulu misalnya, telah dipaparkan perkembangan pengetahuan manusia dari taraf yang paling rendah – bahkan keliru dalam pandangan pengetahuan masyarakat modern – hingga pengetahuan ilmiah yang sangat mendukung kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karenanya pengetahuan bisa saja salah, akan tetapi pengetahuan yang hakiki sejatinya merupakan pengetahuan yang benar.
Dalam kajian filsafat, umumnya ada empat kelompok manusia terkait dengan pengetahuan, yaitu: pertama, manusia tahu bahwa ia tahu; kedua, manusia tahu bahwa ia tidak tahu; ketiga, manusia tidak tahu bahwa ia tahu; dan keempat, manusia tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh manusia benar-benar ada ketika ia mengetahui objek yang ingin diketahui.  Pengetahuan biasa umumnya tidak mempersoalkan hal ini, apakah manusia tahu bahwa ia tahu, atau justru tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
Menurut epistemologi Islam, pengetahuan adalah sebagai sebuah pohon, sedang berbagai sains itu adalah cabang-cabangnya yang tumbuh dan mengeluarkan dedaunan beserta buah-buahan sesuai dengan sifat pohon itu sendiri. Tapi, karena cabang-cabang sebuah pohon tidak tumbuh terus menerus, maka sebuah disiplin tidak perlu dituntut melampaui batas-batasnya. Menuntut sebuah cabang ilmu pengetahuan tertentu dengan melampaui batas-batasnya akan menjadi sebuah aktivitas yang sia-sia. Bukankah jika sebuah cabang tumbuh terus-menerus, akhirnya ia akan menghancurkan keharmonisan seluruh pohon?
Salah satu di antara artikulasi-artikulasi terbaik mengenai epistemologi ini kita temui dalam Book of knowledge karya Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali (1058-1111). Al Ghazali adalah seorang guru besar di Akademi Nizamiyyah Baghdad [15] Al ghazali menganalisa pengetahuan berdasarkan tiga buah kriteria:

1. Sumber
·         Pengetahuan yang diwahyukan: Pengetahuan ini kita peroleh dari para Nabi dan Rasul, tidak kita peroleh dengan menggunakan
akal seperti ilmu hitung, juga tidak dengan percobaan-percobaan seperti obat-obatan
atau dengan pendengaran seperti bahasa-
bahasa”.
·         Pengetahuan yang tidak diwahyukan: sumber pokok dari “ilmu-ilmu” ini adalah akal, pengamatan, percobaan, dan akulturasi
(penyesuaian).
2. Kewajiban-Kewajiban
·      Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardh al ‘ain): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusilaan, dan sebagainya.
·       Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardh al kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat. Misalnya pertanian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
3. Fungsi Sosial
·         Ilmu-Ilmu yang patut dihargai: yaitu ilmu-ilmu (sains) yang berguna dan tak boleh diabaikan “karena segala aktifitas hidup ini tergantung kepadanya…”
·         Ilmu-ilmu yang patut dikutuk: termasuk astrologi, magik, studi ilmiah mengenai cara-cara penyiksaan, dan sebagainya.
Di dalam kerangka di atas, sains dan kemanusiaan tidak berdiri sebagai “dua buah kultur” yang saling terpisah tetapi sebagai dua pilar yang memperoleh rasa solidaritasnya yang vital dari keseluruhan kultur manusia. Jadi, di dalam kerangka ini, pengetahuan itu sekaligus bersifat dinamis dan statis. Terdapat perkembangan setahap-demi setahap dalam bentuk-bentuk ilmu pengetahuan (sains) tertentu, sementara terdapat pula kesadaran akan keabadian pengetahuan prinsipil yang diperoleh dari wahyu itu. Kerangka pengetahuan Islam tak pernah menutup mata terhadap pengetahuan yang diwahyukan itu, pengetahuan yang merupakan “matriks” kerangka bagi semua sains.


    II.            Ilmu (Sains)
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang benar dibicarakan dalam ranah pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains) adalah pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yan diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu.[16] Jika proses cerapan rasa tahu manusia merupakan pengetahuan secara umum yang tidak mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu – dengan cara khusus dan sistematis – dalam hal ini mencoba untuk menguji kebenaran pengetahuan tersebut secara lebih luas dan mendalam. Ilmu tidak hanya berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri, melainkan juga mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki nilai guna (aksiologis) untuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya bersifat dinamis.
Ilmu pengetahuan pada prinsipnya merupakan sebuah tesis yang diuji dengan antitesis sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru (sintesis). Hail pengetahuan baru tersebut (sintesis) akan menjadi sebuah tesis yang baru pula sehingga akan diuji kembali dengan antitesis yang baru dan akan melahirkan pengetahuan yang baru (sintesis).[17] Demikian seterusnya, ilmu pengetahuan akan terus berjalan secara dinamis bagaikan “anak tangga” mengikuti pola 1, 2, 3,…dst.

 III.            Filsafat
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan di atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri. Filsafat memiliki pengertian yang cukup beragam, antara lain:
1.      All learning exclusive of technical precepts and practical arts;
2.      a discipline comprising as it core logic, aesthetic, ethics, metaphysic, and epistemology;
3.      a search for a general understanding of values and reality by chiefly speculative rather than observational means;
4.      an analysis of the ground of and concepts expressing fundamental beliefs;
5.      a theory underlying or regarding a sphere of activity of thought;
6.      the most general beliefs, concepts and attitudes of and individual or group;
7.      calmness of temper and judgment.[18]

Pengertian filsafat yang demikian luas dan beragam tersebut sesungguhnya menunjukkan ciri utama yang harus ada dalam filsafat, yaitu: universal, radikal dan sistematis. Selain itu, Nur Ahmad Fadhil Lubis juga menyebutkan ciri-ciri lain yang ditambahkan beberapa penulis, antara lain: deskriptif, kritis, analisis, evaluatif dan spekulatif. Jika ilmu pengetahuan berjalan dinamis mengikuti pola 1, 2, 3,…dst, maka ciri berpikir filsafat dapat dijelaskan seagaimana ditunjukkan pada gambar berikut ini:



 





Pemaparan di atas secara umum telah memberikan gambaran pengertian pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat sebagai bagian dari pengetahuan manusia. Berdasarkan gambaran tersebut tentunya dapat dilihat sejumlah perbedaan di antara ketiganya (pengetahuan, sains, dan filsafat). Perbedaan-perbedaan tersebut akan lebih mudah dilihat dengan membuat tabulasi tentang fungsi dan cara memperoleh pengetahuan berdasarkan tiga jenis pengetahuan tersebut (pengetahuan, sains, dan filsafat) sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Jenis Pengetahuan
Fungsi
Cara Memperolehnya
Pengetahuan Biasa
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa mempersoalkan seluk beluk pengetahuan secara mendalam
Melalui pencernaan indra dan pengalaman secara umum
Ilmu (Sains)
Untuk menguji kebenaran dari pengetahuan manusia secara umum yang berkisar pada pengalaman sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidup manusia
Melalui penalaran dengan metode dan cara-cara tertentu secara objektif dan sistematis
Filsafat
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan akhir guna menemukan kebenaran yang hakiki
Melalui penalaran yang luas dan mendasar dengan pola berpikir sistematis

Penjelasan di atas menunjukkan perbedaan signifikan pada fungsi dan cara memperoleh pengetahuan dari ketiga jenis pengetahuan yang sedang dibahas. Meskipun pengetahuan secara umum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia – karena pengetahuan tidak lain merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul berhubungan denagan persoalan-persoalan hidup, fungsi spesifik dari ketiga jenis pengetahuan di atas tetap mengandung beberapa perbedadan disamping perbedaan cara memperolehnya. Perbedaan yang lain, khususnya yang dapat ditemukan di antara ilmu dan filsafat, adalah bahwa filsafat berupaya mencari hakikat dari segala sesuatu, bukan hanya sekedar relasi kausal atau penjelasan deskriptif saja, sementara ilmu pengetahuan merupakan fragmentaris yang menjadikan suatu bagian tertentu sebagai bidang kajiannya.

D.    Metode Ilmiah dan Struktur Pengetahuan Ilmiah

Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan prosedur yang disebut sebagai metode ilmiah. Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan terdahulu, kelahiran metode ilmiah diawali dari keberhasilan Francis Bacon meyakinkan masyarakat ilmuan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Dengan demikan, sangat tepat apa yang pernah diungkapkan Jujun, bahwa: secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon, meskipun secara jujur Francis Bacon tidak pernah menyebutkan para pendahulunya.
Jujun S. Suryasumantri pada bukunya yang lain menyebutkan: metode ilmiah yang menghasilkan pengetahuan yang bersifat logis dan teruji dengan jembatan berupa pengajuan hipotesis disebut juga sebagai metode logiko-hipotetiko-verivikatif, yang menuntun cara berpikir untuk mendapatkan hasil pengetahuan ilmiah.[19] Metode ilmiah ini dicerminkan melalui penelitian ilmiah yang merupakan gabungan dari cara berpikir rasional dan empiris. Kerangka berpikir ilmiah yang bertolak pada logiko-hipotetiko-verivikatif, dijelaskan Jujun pada bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, sebagai berikut:
1)      Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya;
2)      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk kontelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan;
3)      Perumusan hipotesis, merupakan jawaban sementara antara dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan;
4)      Pengajuan hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan denangan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;
5)      Penarikan kesimpulan, sebagai penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam, meramalkan dan mengontrol apakah ramalan tersebut akan terjadi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan secara garis besar memiliki tiga fungsi: menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.  Fungsi-fungsi ilmu pengetahuan ini pula yang selanjutnya menghendaki sebuah pengkajian ilmiah melahirkan teori sebagai pengetahuan yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Karena memang pada dasarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan itu adalah mengembangkan teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten.
Jujun lebih jauh menyebutkan, sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum untuk menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam satu kaitan sebab akibat. Hukum yang diperoleh dari sebuah teori memungkinkan manusia meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Contoh paling mudah yang dapat dikemukakan dari hukum yang dilahirkan oleh teori antara lain: hukum permintaan dan penawaran yang ditelurkan dari disiplin ilmu ekonomi. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa merupakan pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala terjadi, dan hukum akan memberikan kemampuan untuk meramlakan tentang “apa” yang mungkin terjadi.
Jika dilakukan pembacaan ulang secara cermat sebuah pengkajian ilmiah yang melewati serangkaian metode ilmiah untuk kemudian menghasilkan teori-teori tertentu dengan seperangkat hukum-hukum di dalamnya, tampak jelas bagaimana sebuah keilmuan tersusun secara rapih, sistematis dan penuh dengan kedisiplinan. inilah yang selanjutnya dapat disebut sebagai struktur pengetahuan ilmiah, mengingat pengertian “struktur” membicarakan bagaimana sesuatu disusun dengan baik.[20]


B.     Trend Penelitian Ilmiah
Pada pemaparan-pemaparan terdahulu telah dibicarakan perkembangan pengetahuan manusia yang begitu pesat. Jika pada masa awal manusia tidak mempersoalkan secara mendalam kebenaran kesimpulan pengetahuan yang mereka miliki, saat ini pengetahuan tersebut diuji untuk menemukan kesimpulan yang benar dan kesimpulan tersebut menjadi pengetahuan yang baru. Tidak hanya sampai pada batas itu, kesimpulan yang semula dianggap benar, kembali diuji untuk dicarikan kesimpulan yang lebih benar sehingga kesimpulan tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang baru pula. Demikian seterusnya, manusia mampu melahirkan sejumlah pengetahuan baru dengan keanekaragaman pendekatan penelitian masing-masing.
Problem yang kemudian muncul adalah eksistensi pengkajian agama (dalam hal ini Islam) sebagai studi ilmiah yang masih cukup minim. Johan Meuleman – sebagaimana dikutip U. Maman, dkk – menyebutkan kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: pertama, keteraturan logosentrime sangat menonjol di kalangan umat Islam; kedua, faktor pertama ini kemudian mengakibatkan penelitian terpusat pada teks-teks dengan mengabaikan unsur yang tidak tertulis dari agama dan kebudayaan Islam; ketiga, intrepretasi yang tertutup dan terbatas sebagai suatu teks yang membicarakan fakta dan peraturan; keempat, anggapan teks-teks klasik mewakili agama dan bahkan anggapan sebagai agama itu sendiri; kelima, sikap apologetis terhadap aliran lain; dan keenam, sikap tradisional.[21]
Kesadaran akan kondisi stgnan pengkajian agama yang terbatas pada bidang-bidang yang disebutkan di atas selanjutnya melahirkan berbagai pendekatan dalam studi Islam. Secara umum, pendekatan-pendekatan tersebut dapat disebutkan, antara lain: pendeketan spesialisasi keilmuan, pendekatan interdisiplin ilmu, pendekatan multi-disiplin keilmuan, dan pendekatan studi kawasan.
Penelitian spesialisasi dapat dipahami sebagai sebuah penelitian yang mengambil konsentrasi pada bidang-bidang tertentu. Seperti: Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Dakwah, dan lain sebagainya. Berdasarkan perkembangan ajaran Islam, Harun Nasution melakukan klasifikasi ilmu-ilmu Islam, sebagai berikut:[22]
1)      Kelompok dasar, yang terdiri dari tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam (teologi), filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsafat.
2)      Kelompok cabang, teridiri dari:
-          Ajaran yang mengatur masyarakat: ushul fikih, fikih muamalah, fikih ibadah, peradilan dan perkembangan modern;
-          Peradaban Islam: sejarah Islam, sejarah pemikiran Islam, sains Islam, buday Islam, dan studi kewilayahan Islam;
3)      Bahasa dan sastra Islam
4)      Pelajaran Islam kepada anak didik, mencakup: ilmu pendidiikan Islam, falsafah pendidikan Islam, sejarah pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam pendidikan Islam.
5)      Penyiaran Islam, mencakup: sejarah dakwah, metode dakwah, dan sebagainya.
Penelitian interdisiplin ilmu merupakan penelitian yang dikaji dalam wilayah cabang-cabang ilmu sebagaimana dijelaskan di atas. Sementara penelitian multi-disiplin ilmu merupakan penelitian yang dilakukan dengan berbagai macam pendekatan keilmuan. Cik Hasan Bisri menyebutkan: model penelitian multi-disiplin ilmu mencakup konsep dari berbagai disiplin ilmu. Setiap konsep masing-masing didefinisikan secara operasional sehingga dapat ditempatkan sebagai variabel penelitiann.
Sementara itu, studi kawasan merupakan salah satu model penelitian yang dikembangkan dalam cabang sejarah. Salah satu model penelitian ini dikembangkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Abuddin Nata menyebutkan bahwa penelitian yang dikembangkan Azyumardi Azra ini merupakan salah satu model studi kawasan yang cukup proporsional terutama dalam pengembangan khazanah intelektual Islam.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Makalah ini secara sederhana telah memaparkan sejarah perkembangan pengetahuan manusia sebagai sebuah gambaran umum, sejak manusia mengenal pengetahuan pada taraf yang paling rendah hingga pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah disiplin ilmu dalam waktu yang cukup panjang. Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembanngkan penalarannya guna menciptakan berbagai pengetahuan-pengetahuan baru dengan melakukan berbagai penelitian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang telah ada.
Ilmu pengetahuan yang berhasil dilahirkan manusia sampai hari ini tentunya bukan merupakan kesimpulan akhir dari adanya pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, pengetahuan tersebut dapat berkembang lebih jauh di masa-masa yang akan datang mengikuti pola perkembangan pengetahuan tersebut. Kemampuan penalaran manusia tentunya menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan berbagai pengkajian tidak saja pada persoalan-persoalan umum, melainkan juga persoalan-persoalan keagamaan yang semakin problematis di dunia modern.












[1] . Hossein Nasr: Science and Civilization in Islam, Harvard University Press, Cambridge, 1964

[2] . P. Hardono Hadi.. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan. Kansius: Yogyakarta, 1994. hlm:13

[3] . P. Hardono Hadi.. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan. Kansius: Yogyakarta, 1994. hlm:23


[4] . Jujun S. Suryasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke 2. Jakarta: Sinar Harapan, 1985. hlm:39
[5] . Jujun S. Suryasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke 2. Jakarta: Sinar Harapan, 1985. hlm:42

[6] . C.A. Van Peursen. "Filosofische Orientatie". Terjemah: Dick Hartoko. Orientasi di Alam Filsafat. Cetakan ke 3. Jakarta: Jakarta, 1983. hlm:19

[7] . C.A. Van Peursen. "Filosofische Orientatie". Terjemah: Dick Hartoko. Orientasi di Alam Filsafat. Cetakan ke 3. Jakarta: Jakarta, 1983. hlm:21


[8] . Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat. (Catakan ke 3). Jakarta: Bulan Bintang,1981. hlm:133

[9] . Jujun S. Suryasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke 2. Jakarta: Sinar Harapan, 1985. hlm:112
[10] . http://download. fa.itb.ac.id/ incl/libfile.filsafat_ilmu.pdf.diakses pada tanggal 07 Oktober 2010.

[11] . Nur Ahmad Fadhil Lubis. Pengantar Filsafat Umum. Medan: IAIN Press, 2001. hlm:22.
[12] . A. E. Affifi. Filsafat Mistis Ibn Arabi. (Cetakan ke 2). Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995. hlm:148

[13] . Soetriono dan SRDm Hanafie. Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007.  hlm:7-8
[14] . karya Ziauddin Sardar,
Al Biruni (973-1048):Encyclopaedist, Scientist, Philosopher“, Quest: Journal of the City University, Summer 1974.
[15] . Al-Ghazali, The Book of Knowledge, yang diterjemahkan oleh Nabih Amin Faris, Asyraf, Lahore, 1962.
[16] . Soetriono dan SRDm Hanafie. Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007.  hlm:19
[17] Irwandar . Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2003. hlm:48
[18] . Philips Babcock Gove, et.al. (ed). Webster Third New International Dictionary. Massachussets, USA: G & C Merriam Company Publisher, 1966. hlm:1698

[19] . Jujun S. Suryasumantri. Ilmu dalam Perpektif Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta: Gramedia, 1986.hal:19

[20] . Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
[21] . U. Maman, Kh, et.al (editor). Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali Press, 2006. hlm:5
[22] Harun Nasution. "Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perpektif", dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Pusjarlit dan Nuansa,1998. hlm:7-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar