BAB I
PENDAHULUAN
Hukum islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling betentangan. Dalam satu sudut pandanghukum islam merupakan suatu hokum yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap qadim bersifat statis tidak berubah.
Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau social Enginering, kedua fungsi itu juga terdapat pada hokum islan. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat sejalansejalan dengan perkembangan zaman kontemporer ini.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hokum islam dengan dinamika masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spectrum masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan luas.
a) Hukum Islam
Secara etimologis, kata hokum berakar pada kata atau hruf arab, yang berarti menolak.
Adapun secara terminologis, ulama usul mendefinisikan hokum dengan titisan Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun larangan, sedangkan ulama fikih mengartikan dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, sunnah, dan haram.
Bertolak dengan pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka dapat dikemukakan bahwa hokum islam pada hakekatnya mempunyai muatan hokum syara dan hokum fiqh, karena bersumber dari syariat, tetapi ia juga merupakan hasil ijtihad manusia.
Dengan kata lain, bahwa syariat islam yang diterjemahkan sebagai hokum islam adalah didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara luas) mencakup aspek akhlak dan hukum. Sedangkan jika hokum islam dimaksudkan terjemahan dari fikih islam, maka hokum islam dimaksudkan adalah hasil ijtihad yang ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zany,tidak termasuk didalamnya nilai hokum islam dalam pengertiannya yang bersifat qat’iy.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum islam pada dasarnya mencakup hokum syara dan hukum fiqih karena ia bersumber dari wahyu(Al-qur’an dan Sunnah), serta merupakan hasil kreaktifitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum islam memiliki dimensi ilahiyah yang transenden, dan dimensi insaniyah yang profane.
b) Dinamika Masyarakat periode kontemporer
Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih sangat sederhana
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah masyarakat mengalami kemajuan dibidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme, yang ditandai dengan kemjuan dibidang keilmuan dan teknologi. Dilihat dari perspektif filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat al shaqawi dalam kitab Falsafah al Hadharah al islamiyah, proeses perkembangan masyarakat seperti yang digambar comte merupakan proses gerak maju ke depan.
Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai salah satu titik perhatian, meskipun ia terdiri dari beberapa Negara yang terpisah dan dihuni oleh beberapa kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama.
Penagruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negative dengan arti merugikan.
Demikianlah hukum islam meyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hokum islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Post Modernisme dan Neodernisme
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Yang muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme.
Istilah ‘’pos’’ menurut kubu Postmodermisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humainisme, antroposentrisme, dan linirietas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, anthihumanisme, dan diskontuinitas.
Pada awalnya gerakan modernisme lahir dari gerakan ‘’rasionalisai’’ dan kebebasan ijtihad agama. Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Muhammadiyah di Indonesia, dan gerakan modernisme lahir di Indonesia sabagai respon modernitas barat.
Sedangkan, Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah. Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin meningkat. Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
B. Islam Liberal
Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."
latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.
C. Islam Kultural dan Struktural
Islam kultural dalam pandangan umum adalah Islam yang mewujudkan dirinya secara substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam minus politik. Dalam pemahaman umum, Islam kultural adalah Islam dakwah, Islam pendidikan, Islam seni, dan seterusnya. Sebaliknya, Islam politik adalah Islam yang muncul atau ditampilkan sebagai kerangka atau basis ideologi politik, yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik (cf. Gulalp 1999). Lebih tegas lagi Islam politik adalah Islam yang berusaha diwujudkan dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi, khususnya pada bidang eksekutif dan legislatif. Memakai kerangka sejarawan MGS Hodgson, Islam politik adalah Islamdom, Islam yang mengejawantah dalam kekuasaan politik (political power)
Islam Kultural sebut Nurcholish Madjid, adalah ide yang menempatkan agama sehingga berperan utama sebagai sumber nilai dan pedoman perilaku etika dan budaya dalam kehidupan berbangsa, sehingga Islam bisa diterima oleh siapapun baik internal maupun eksternal.
Gagasan Islam Kultural awalnya adalah untuk menjawab kebuntuan akses politik umat Islam Indonesia yang ditutup oleh rezim tiran Orde Baru. Bagi Orde Baru, Islam politik adalah ancaman bagi stabilitas politik yang telah dibangun sebelumnya, oleh kerana itu, cara yang paling efektif dengan melakukan tekanan-tekanan politik, seperti melarang rehabilitasi Partai Masyumi (Lukmanl Hakiem, 1993). Melihat kondisi tersebut, generasi muda pasca M. Natsir, mencoba untuk merumuskan kembali relasi negara dan Islam dengan suasana lebih dialogis. Sehingga dirumuskan lah Islam kultural, sebagai anti tesis Islam struktural atau Islam politik.
Sedangkan, yang dimaksud dengan Islam structural, adalah penyelengaraan Negara yang berorientasi pada syariat islam. Islam structural itu semata-mata berburu pada kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala macam cara, melainkan menjadi Negara sebagai lapangan perjuangan dan pengabdian untuk menegakkan yang benar dan mencegah yang mungkar.
D. Postradisionalisme Islam
Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam benar-benar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an IAIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern. Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di IAIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.
Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda pemikir-pemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang lahir pada tahun 1939 dan Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah orang-orang yang tengah memasuki usia remaja saat Soeharto muncul sebagai penguasa.
1. Postradisionalisme Islam di Kalangan Muda NU
Beberapa dekade terakhir ini muncul fenomena baru di kalangan Nahdlatul Ulama yaitu tentang pembaruan wacana, yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi dalam organisasi ini. Pembaruan tersebut mencakup beberapa aspek, diantaranya adalah tentang gagasan dan pemikiran, keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan global. Kebanyakan gerakan pembaruan ini dimotori oleh anak-anak muda Nahdlatul Ulama yang kemudian seringkali disebut sebagai kalangan muda Nahdlatul Ulama (Sholeh, 2004). Mereka menganggap bahwa wacana yang ada pada Nahdlatul Ulama yang cenderung tradisional dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kemudian kalangan muda ini menawarkan gagasan-gagasan baru yang seringkali disebut dengan post-tradisionalisme.
Kalangan muda NU beberapa tahun terakhir mempunyai kesadaran kritis akan eksistensi NU terhadap pola perubahan zaman, sehingga mereka memandang perlu adanya suatu gerakan pembaruan terhadap kultur NU yang selama ini melekat. Gerakan pembaruan ini meliputi tiga hal (Riyadi, 2007). Pertama, tentang masalah kemandegan berfikir (jumud). Realitas yang terjadi bahwa ternyata perubahan zaman semakin cepat terjadi dari hari ke hari, sehingga memaksa kalangan muda NU untuk berpikir ulang terhadap pola pemikiran yang diadopsi oleh NU. Pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang hanya bersandar pada teks-teks tradisional (kitab kuning) dirasa oleh kalangan muda NU tidak lagi mampu berbicara banyak terhadap realitas yang terus berkembang saat ini, perlu ada suatu rumusan baru mengenai pemecahan masalah tersebut. Sehingga menurut mereka, perumusan metode baru (ijtihad) perlu dilakukan untuk keluar dari kungkungan kejumudan yang selama ini melekat di NU.
Kedua, partisipasi NU dalam dunia politik praktis. Terjerumusnya NU dalam dunia politik praktis banyak menyebabkan tujuan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berorientasi pada pengembangan potensi ummat terbengkalai. Dari kondisi inilah, kalangan muda NU prihatin terhadap terjerumusnya NU dalam pusaran politik praktis dan mereka mencoba untuk menggeser gerakan politik praktis NU ini ke gerakan Islam kultural, sebagaimana misi awal pendirian organisasi ini. Ketiga, permasalahan pengelolaan keorganisasian. Pola hubungan patron-client yang kuat antara ulama dengan masyarakat, dimana ulama berperan sebagai patron dan masyarakat berperan sebagai client, menjadikan organisasi ini lemah dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pengelolaan NU yang lebih bersifat tradisional perlu diganti dengan sistem yang lebih modern, karena basis massa yang sangat besar akan sulit menunjukkan eksistensinya jika hanya dikelola dengan pola-pola tradisional.
Lebih lanjut, seringkali NU dipahami sebagai organisasi tradisional dengan stereotype yang cenderung negatif, diantaranya adalah organisasi yang ekslusif, organisasi yang tidak pernah beranjak dari kitab-kitab yang mu’tabar (al-kutub al-mu’tabaroh) , organisasi yang dalam praktik keagamaannya seringali mengadopsi tradisi lokal serta basis komunitas yang mayoritas berasal dari kalangan pedesaan (Riyadi, 2007). Pemahaman dalam beragama bagi kalangan NU seringkali berpijak dan berangkat dari teks yang sangat disakralkan dan teks mempunyai otoritas yang tinggi dikarenakan model pemahaman yang ada di NU selalu merujuk pada kitab-kitab ulama terdahulu. Bahtsul masa’il merupakan salah satu contoh betapa teks sangat dijunjung tinggi dalam model pemahaman dalam organisasi ini.
Tradisi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat dan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Sedangkan penjelasan Muhammad Abed Al-Jabiri tentang tradisi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tradisi maknawi (al-turats al-maknawi), yang berupa tradisi pemikiran dan budaya, 2) tradisi material (al-turats al-ma’adi), seperti monumen dan benda-benda masa lalu, 3) tradisi kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari masa lalu kita, 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata tradisional diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun. Islam tradisional seperti yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri seperti berikut: pertama, sangat terikat dengan pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang hidup antara abad ke tujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, kebanyakan basis massa dari penganut tradisionalisme Islam tinggal pada wilayah pedesaan dengan latar belakang pendidikan pesantren. Ketiga, keterikatan mereka pada paham ahlussunah wal jama’ah.
Jika tradisional dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun, maka tradisionalisme dapat diartikan dengan paham atau ajaran yang didadasarkan atas tradisi. Jika kita kaitkan dengan Islam, maka tradisionalisme Islam dapat diartikan sebagai praktik-praktik keagamaan maupun pemikiran dalam Islam yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Sedangkan post-tradisionalisme secara etimologi bisa diartikan pasca tradisionalisme. Meskipun kata post disini bisa diartikan dengan melampaui, melewati dan bahkan meninggalkan tradisi, tetapi yang menjadi inti dari post tradisionalisme disini adalah mentransformasikan dan merevitalisasi terhadap tradisi, bukan untuk meninggalkan tradisi. Maka demikian, dalam diri postradisionalisme terkandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan.
Maka dari uraian diatas, peneliti melihat bahwa postradisionalisme merupakan salah satu modal sosial bagi warga NU dalam menggapai perubahan. Dan dari sini penilitian ini akan mencoba menlusuri sampai sejauh mana postradisionalisme befungsi sebagai modal sosial bagi NU untuk melakukan perubahan.
E. Jihad dan Terorisme
Menurut Ibnu Faris dalam bukunya mu’jam “Al-maqasy fi Al-lughah”, semua kata yang terdiri dari huruf J, H, D, pada awalnya mengandung arti kesulitan ata kesukaran dan yang mirip dengannya.
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti ‘’letih atau sukar’’. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “Jahida Bir Rojul”, yang artinya “ seseorang sedang mengalami ujian”.
Jihad adalah merupakan ruh dan spirit utama bagi keseluruhan perjuangan Islam. Jihad merupakan inti daripada semangat islamyang mengantarkan islam menjadi Al-Furqan (benar-benar tampil beda) dari Jahiliah.
Maka setiap muslim harus berusaha melibatkan dirinya dalam jihad sesuai dengan kemampuan dan tuntunannya, berjihad dapat kita aplikasikan dalam beberapa hal,seperti:
1) Berjihad memerangi hawa nafsu, amarah yang suka menyimpangkan manusia dari perbuatan baik kepada perbuatan buruk, dari akhlak terpuji kepada akhlak tercela .
2) Berjihad memerangi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat islam dalam pentas kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3) Berjihad dalam memerangi segala bentuk ancaman yang membahayakan kemudahan umat, seperti ancaman masyarakat, dll.
4) Berjihad memerangi keterpurukan umat, baik dari segi intelektual maupun muammalah.
5) Berjihad mengantisipasi serta mengimbangi tipu daya politik dan diplomasi kaum kafir dalam uapaya memurtadkan umat islam, menjauhkan umat dari ajaran islam, dan memecah belahkan umat islam agar mudah menjadi santapan mereka.
Setiap pribadi muslim yang menghendaki kesempurnaan dalam berislam, harus memiliki program dakwahdan semangat jihad bagi dirinya sendiri dan keluarga. Dia harus bersemangat mengupayakan perbaikan keislamannya dari hari kehari, sehingga mencapai nilai HAQQA TUQATIH (Sebenar-benarnya takwa).
Sedangkan Terorisme dan Radikalisme meruapakan fenomena umum yang tersebar diseluruh dunia, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang dituduh oleh sebagian kalangan.
Pengetahuan yang benar tentang islam bentuk Radikalisme maupun Terorisme, Etos kasih saying mrupaka salah satu sebagian penting dalam islam, karena itu setiap surat dalam al-quran selalu dimuat dengan kalimat” dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”, ya, betapa kasih saying Allah begitu luas, mencakup sgala sesuatu serta seluruh manusia yang berusaha keras mewujudkan keadilan dan perdamaian.
Dialog antar agama selain mampu mengatasi berbagai persoalan negative seperti ateisme narkoba, dan fanatisme, ternyata juga mampu memberikan konstribusi efektif demi mencegah terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang mungkin terjadi.
Persoalan-persoalan tersebut berikut persoalan sampingan lainnya, menuntut kerja keras kita dalam mencari jalan keluar yang memadai, karena bagaimanapun, hal ini menyangkut kepentingan seluruh dunia.
Apabila kita ingin menyelenggarakan dialog antar agmayang efektif, kita tidak boleh lagi menghidupkan memori-memori kebencian dan permusuhan yang diwariskan oleh masa silam dalam ingatan kita sebagai penggantinya, kita harus membangun pemikiran positif yang bergerak kea rah pembangunan pemikiran positif yang bergerak kearah pembangunan masa depan baru yang lebih cerah dan mampu membuat dunia menikmati perdamaian.
BAB III
PENUTUP
Islam sebagai dinamika historis menunjukkan kekayaan luar biasa. Di tengah dinamika historis memang perlu ditegaskan kembali esensi-esensi teologis pokok, seperti tauhid Allah SWT, kenabian Muhammad, i’jaz Alquran, dan sebagainya. Namun, dinamika historis tersebut juga dapat menjadi bahan dasar penting bagi sintesis-sintesis Islam untuk menjawab tantangan zaman.
Dinamika historis memang menuntut penghadiran berbagai respons Islam terhadap situasi lingkungannya yang terus berubah. Karena itu, kaum Muslimin dan umat-umat lainnya, dalam dinamika sejarah bisa menyaksikan terjadinya kesinambungan dan konvergensi di tengah perubahan. Semua perubahan yang positif dan kontributif bagi peradaban Islam terjadi berkat keterbukaan dan kesediaan kaum Muslimin sendiri menyerap berbagai hal positif di luar tradisi mereka.
Karena itu, pengakuan pada berbagai tradisi di luar Islam dan kaum Muslimin sendiri merupakan sebuah keniscayaan. Pengakuan tersebut bahkan merupakan prasyarat krusial bagi setiap masyarakat yang berkeinginan dan berusaha merespons secara tepat berbagai perubahan yang tidak bisa dielakkan manusia dan peradabannya di masa kini dan mendatang. Dalam perspektif ini, sejarah Islam dan kaum Muslimin pada dasarnya merupakan usaha-usaha tak pernah berhenti bagi kaum Muslimin sendiri untuk memahami cita-cita Alquran guna selanjutnya mewujudkannya ke dalam realitas kehidupan.
Namun, perubahan-perubahan yang luas dan berdampak panjang juga menimbulkan kecemasan bagi sebagian kaum Muslimin. Dan ini mendorong mereka untuk kembali kepada apa yang mereka sebut sebagai ‘Islam otentik’ yang ironisnya justru tertutup dan menegasikan berbagai hal di luar Islam, yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap ‘Islam otentik’.
Cara pandang seperti ini jelas sangat kontraproduktif karena dalam kerangka itu, Islam dipandang hanya sebagai doktrin teologis dan doktrinal abstrak, yang jauh dari persentuhan dan realitas historis. Pandangan dan konsepsi inilah yang akhirnya mengantarkan kaum Muslim ke dalam situasi dan kondisi statis, yang mengakibatkan terjadinya ‘fragmentasi’ sosial dan intelektual. Jadinya upaya-upaya memperbaiki keadaan dan kenestapaan kaum Muslimin dewasa ini lebih didorong formula-formula ideologis-religius yang cenderung simplistik daripada rumusan-rumusan atas kajian berbagai realitas sosio-historis konkret.
Padahal, salah satu distingsi Islam, seperti ditegaskan kembali melalui Konferensi Alexandria, adalah keterbukaan yang mampu tidak hanya mengakomodasi berbagai fenomena dan produk peradaban lain yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia secara keseluruhan, tetapi juga dapat hidup berdampingan secara kreatif dengan peradaban-peradaban lain.
Hidup berdampingan secara damai (creative co-existence), jelas bisa dicapai hanya jika para representasi peradaban-peradaban yang dominan mau meninggalkan pandangan-pandangan yang memecah belah tentang ‘keunggulan kultural’ (cultural triumphalism). Triumphalism adalah pernyataan sepihak dari pendukung kultural manapun yang mengklaim bahwa hanya pihaknya sajalah yang paling unggul di atas segala pihak lain. Triumphalism seperti ini pada ujungnya hanya akan mengantarkan umat manusia ke dalam ‘perbenturan peradaban-peradaban’, yang jelas tidak kita hendaki.
DAFTAR PUSAKA
Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar